1. BANYUWANGI
  2. INFO BANYUWANGI

Melihat Tradisi Tumpeng Sewu dari jemur kasur hingga kenduri

Ritual Tumpeng Sewu diawali dengan ritual mepe kasur atau menjemur kasur yang diyakini membersihkan diri dari segala macam penyakit.

Tradisi mepe kasur . ©2016 Merdeka.com Reporter : Mochammad Andriansyah | Senin, 05 September 2016 17:17

Merdeka.com, Banyuwangi - Uniknya ritual Tumpeng Sewu di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, Jawa Timur. Tradisi masyarakat Osing, suku asli Bumi Blambangan ini digelar seminggu menjelang Hari Raya Idul Adha, Minggu (4/9). Upacara adat dimaksudkan untuk membuang segala macam penyakit tersebut yang digelar sehari semalam.

Tak hanya proses ritualnya yang menarik diikuti, pilihan harinya juga perlu disimak. Sama halnya tradisi Ider Bumi, ritual bersih di tiap bulan Syawal. Tradisi Tumpeng Sewu juga selalu digelar di hari Minggu atau Kamis. Tergantung perhitungan hari jatuhnya hari raya sesuai penanggalan Jawa.

Menurut Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Osing, Adi Purwadi, hari Minggu malam Senin dan Kamis malam Jumat adalah hari keramat. Sehingga dua hari tersebut dianggap sebagai hari baik untuk menggelar acara. “Minggu dan Kamis dianggap sebagai hari keramat. Ini sudah dilakukan turun-temurun,” kata Purwadi ditemui di kediamannya di Desa Kemiren.

Bedanya dua ritual adat Desa Kemiren ini, Ider Bumi digelar sesudah Hari Raya Idul Fitri sedang Tumpeng Sewu digelar semingu jelang Hari Raya Kurban. Namun kedua tradisi kuno ini memiliki filosofi yang sama, yaitu menghindarkan diri dari segala macam bagebluk atau penyakit.

Seorang warga sedang mempersiapkan kasur yang akan dijemur
© 2016 merdeka.com/Mochammad Andriansyah

Gelar Tumpeng Sewu, diawali ritual mepe kasur atau menjemur kasur yang merupakan barang pribadi. Waktu menjemur pun dimulai dari pagi hingga sore hari, sekitar pukul 14.00 WIB. Masyarakat adat Desa Kemiren meyakini, membersihkan diri dari segala macam penyakit tidak hanya apa yang ada di luar rumah, tapi juga semua perabotan rumah tangga, seperti kasur.

Kasur dianggap barang pribadi yang paling dekat. Di tempat inilah sumber macam penyakit bisa datang. Sehingga kasur yang berada di ruang pribadi juga wajib dibersihkan dengan cara dijemur di luar rumah masing-masing warga.   

“Kasur itu barang pribadi orang berumah tangga, maka perlu juga dibersihkan. Jadi membersihkan diri bukan hanya apa yang ada di luar rumah, tapi juga yang ada di dalam rumah,” kata pria yang akrab disapa Kang Pur ini.

Uniknya, kasur milik warga Desa Kemiren semuanya berwarna merah dan hitam. Merah berarti kerja keras. Sedang hitam adalah simbol kelanggengan atau keabadian. “Untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah diperlukan kerja keras untuk menghidupi keluarga, seperti lambang warna merah. Dengan kerja keras maka tercipta kelanggengan seperti warna hitam,” ujarnya.   

Kasur khas warga Kemiren ini, juga merupakan warisan turun-temurun orangtua masing-masing warga. Kasur-kasur baru, biasanya terdapat tanggal pembuatan dan kali pertama dipakai si pemilik. Misalnya si fulan dan istrinya menikah pada hari, tanggal dan tahun yang tertulis di kasur pribadinya.

“Kalau kainnya bisa diganti. Karena warisan orang tua, kainnya pasti rusak dan diganti yang baru. Tapi kapuknya (isi kasur) masih menggunakan bekas orangtuanya. Nah kain kasur yang baru ini biasanya masih ada tulisan tanggal dan tahunnya. Kalau yang lama pasti sudah hilang,” kata Kang Pur.  

Menurut salah satu warga, Serat setelah dijemur kasur bisa kembali terasa empuk dan enak digunakan kembali untuk tidur. “Hang sun rasakaken, sak bare ngetokaken kasur teko umah, umah katon rumyang lan rijig. Mulo iku awak kroso sehat lan ati adem(Yang saya rasakan setelah menjemur kasur, rumah terlihat nyaman dan bersih. Maka dari itu, badan terasa sehat dan hati tentram),” kata Serat dengan logat Osingnya.
 
Senada dengan Serat, menurut Ketua Adat Kemiren Suhaimi setelah matahari lewati di atas kepala atau tengah hari, semua kasur harus digulung dan kembali dimasukkan dalam rumah. Konon katanya, jika tidak segera dimasukkan hingga matahari terbenam. Kebersihan kasur dan khasiat menghilangkan penyakit akan musnah atau tidak ada hasil setelah dijemur sehari.

“Proses mepe kasur juga dibarengi dengan doa-doa keselamatan. Warga juga memercikkan air bunga di halaman yang tujuannya agar dijauhkan dari bencana dan penyakit. Saat dijemur kasur juga dibersihkan dengan cara memukul-mukulnya dengan sapu lidi atau alat pemukul kasur,” ujar Suhaimi.

Sementara itu, sembari menunggu proses mepe kasur selesai. Ibu-ibu di dapur menyiapkan masakan yang akan digunakan tumpengan usai Salat Mahgrib. Seperti yang dilakukan salah satu warga Kemiren, Saona (59). Saona dan anaknya, tengah menyiapkan lima tumpeng. Dia menanak 6 kilogram beras dengan cara dikukus di atas tungku (kompor kuno berbahan batu bata dan menggunakan kayu untuk bahan bakarnya).

Untuk lauk pelengkap tumpeng, Saona memasak pecel pithik yang merupakan makanan khas warga Osing di Desa Kemiren. Pecel pithik terbuat dari ayam kampung dipethetheng atau ayam yang sudah disembelih dibelah dan ditusuk bambu seperti sate. Kemudian ayam-ayam itu diasapi di samping tungku. “Diasapi biar daging ayamnya matang semua. Kalau dipanggang biasanya yang matang hanya daging luarnya. Dalamnya masih mentah,” ujar Saona.

Setelah ayam matang, dicampur dengan parutan kelapa yang sudah diberi bumbu pedas. “Untuk tambahan tumpeng, juga dikasih lauk tahu dan tempe atau sayur lain. Tapi yang utama nasi tumpeng sama pecel pithik. Kalau yang lain hanya tambahan saja,” katanya.  

Proses pengasapan ayam (pithik) sebagai pelengkap tumpeng
© 2016 merdeka.com/Mochammad Andriansyah

Setelah proses mepe kasur selesai, ritual adat Desa Kemiren berlanjut ba'da Solat Mahgrib. Kemudian dilanjutkan menggelar doa bersama usai solat berjamaah. Usia sembahyang warga menggelar arak-arakan barong, yaitu kesenian warisan dari sesepuh desa Mbah Buyut Cili yang hingga saat ini masih dilestarikan warga Osing. Setelah itu ritual dilanjutkan dengan ziarah ke Buyut Cili.

Sebagai acara puncak, warga menggelar Tumpeng Sewu yang diawali dengan menyalahkan obor di masing-masing rumah warga. Obor pertama yang berada di ujung jalan masuk desa, dinyalakan menggunakan api dari kawah Gunung Ijen yang terkenal dengan blue fire-nya.

Setelah Tumpeng Sewu disuguhkan, wargapun beramai-ramai menyantap lautan kenduri khas warga Kemiren ini. Sedangkan minumnya berupa air putih dalam kendi. Cara minumnya juga unik, sebelum diminum air tuangan pertama harus dibuang. Ini dimaksudkan agar kotoran yang ada di ujung kendi hilang bersamaan air yang dibuang lebih dulu.

Selanjutnya, acara ditutup dengan tembang mocoan lontar macapat Yusuf di dua lokasi, yaitu di balai desa dan Pendopo Barong Kemiren. Acara tersebut juga menampilkan pertunjukan seni Barong Kemiren.

(FF/MA)
  1. Info Banyuwangi
  2. Seni dan Budaya
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA