1. BANYUWANGI
  2. PROFIL

Cerita Bupati Anas, anak kiai kampung yang rela jualan di sekolah

Hal ini dilakukannya semata-mata untuk mengejar cita-cita.

Abdullah Azwar Anas. ©2016 Merdeka.com Reporter : Mochammad Andriansyah | Selasa, 19 Juli 2016 17:50

Merdeka.com, Banyuwangi - Abdullah Azwar Anas, putra asli Banyuwangi, Jawa Timur sukses meniti karir politiknya. Bahkan, politikus kelahiran 6 Agustus 1973 ini, mampu membangun Tanah Blambangan menjadi kabupaten yang diperhitungkan dunia selama dua periode kepemimpinannya. Bupati Anas pun ingin berbagi kisah suksesnya kepada 235 pelajar SMK Negeri 2 Tegalsari, Selasa (19/7).
 
Suami Ipuk Fiestiandani ini menceritakan bagaimana masa kanak-kanaknya, dilalui dalam kondisi ekonomi orangtuanya yang serba pas-pasan. Untuk bisa sekolah, Anas kecil harus berjuang keras. Saat di bangku sekolah, dia pernah berjualan makanan sembari sekolah. Di bangku Madrasah Ibtidaiyah (MI) setara dengan SD, politikus PKB ini pernah bersekolah MI Karangdoro, Kecamatan Tegalsari (1980-1982) Kemudian pindah di MI An-Nuqoyyah, Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep, Madura pada Tahun 1982 hingga 1983.

Bupati yang masa kecilnya akrab disapa Dollah ini, ternyata juga seorang gus (panggilan anak seorang kiai di Jawa Timur). Anas adalah anak seorang kiai kampung, pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Mabadi'ul Ikhsan,  Desa Karangdoro, yaitu alamarhum KH Musayyidi. Anas anak pertama dari 10 bersaudara. Sebenarnya, Anas bukan anak pertama. Tapi karena anak pertama atau kakaknya meninggal saat masih bayi, mantan anggota DPR/MPR ini pun diklaim sebagai anak pertama.  
 
Dari semua saudaranya itu, setelah lulus dari MI, hanya Anas yang melanjutkan di pendidikan umum, yaitu SMP Negeri 1 Genteng 1986-1988 dan SMP Negeri 1 Banyuwangi di Tahun 1988-1989. Sementara kesembilan adiknya tetap sekolah di pendidikan agama. Lulus SMP, Anas melanjutkan ke SMA negeri 1 Jember Tahun 1992.

"Waktu di sekolah umum, saya minta izin abah (Kiai Musayyidi) dulu. Dan beliau mengizinkan. Tapi ada syaratnya, saya tidak boleh kos. Jadi saya tetap tinggal di pondok. Sebab kalau di pondok, minimal saya bisa salat subuh berjemaah," kata Anas.
 
Karena tinggal di pondok, saat sekolah, Anas berjalan kaki. "Saya biasa jalan kaki atau naik sepeda. Terkadang gandol truk atau mobil pick up ke sekolah. Waktu saya sekolah, banyak teman-teman sekolah naik motor. Ada juga yang diantar naik mobil. Karena naik motor, pacarnya cantik-cantik. Sedang saya, paling tidak laku dulu," selorohnya sembari tersenyum.

Namun hal itu tak membuatnya minder. Anas makin percaya diri. Dia berkeyakinan, orang sukses, adalah mereka yang bisa mengendalikan kesenangan untuk hari ini. “Yang senang-senang hari ini, belum jaminan meraih sukses di masa depan. Yang biasa naik mobil belum tentu beehasil,” katanya menghibur.  
 
Itu dibuktikan dengan kisah beberapa teman-teman sekolahnya. Si gus ini berkisah, saat di bangu SMA, dia memiliki teman satu kelas yang nasibnya lebih menyedihkan dari dirinya. “Namanya Muhroji. Dia anak dari keluarga miskin dari Ambulu. Saat berangkat sekolah, dia jarang makan,” ujar Anas.
 
Untuk bisa berangkat sekolah, Muhroji harus mengeringkan dulu celanannya di kamar ketika musim hujan. Karena celana sekolahnya cuma satu, yang didapat saat kali pertama mendaftar sekolah. Sepatunya juga cuma satu dan terus dipakainya meski sudah berlubang. Muhroji juga tidak punya tas, bukunya selalu dimasukkan ke tas plastik.

“Saat di sekolah, sulit mencari Muhroji. Dia hanya bisa ditemui di musola. Di selalu salat Dhuha. Dia gak pernah jajan. Kalau ke kantin  saya yang belikan. Uang saya, saya bagi sama dia. Saya dulu nyambi kerja di Radio Prosalina FM Jember. Honornya, saya bagi dengan Muhroji,” Anas masih menceritakan kisahnya.
 
Usai lulus SMA, Anas mengajak sohib karibnya itu ke Jakarta. Saat itu, Anas kuliah di Fakultas Teknologi Pendidikan IKIP Jakarta. Karena di Jakarta anak Kiai Musayyidi ini belum mendapat pekerjaan, dia tidak bisa berbagi dengan Muhroji, yang tidak melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi.
 
Karena dalam kondisi sulit di Jakarta itulah, Muhroji memutuskan kerja sebagai tukang sapu. Setahun kemudian, Muhroji mendapat beasiswa kuliah di STT Telkom. “Meski dari keluarga miskin, Muhroji anak yang cerdas. Karena kesabaran dan kegigihannya, dia kini jadi orang sukses. Lama tidak ketemu, sampai akhirnya ketemu di Facebook, dia ngabari saya kalau sekarang bekerja di Telkom yang ada di Sumatera Utara. Dia j=uga sudah memberangkatkan orang tuanya ke Tanah Suci dan punya rumah,” ceritanya.
 
Dari cerita ini, Anas ingin generasi-generasi muda di Banyuwangi bisa mengambil hikmah dari kisah tersebut. Menurutnya, tidak semua kesuksesan didapat dengan fasilitas mewah. Seperti kisah teman-temannya yang dulu berangkat sekolah dengan motor dan mobil, tapi sekarang banyak yang mengais rezeki di pasar. Sementara Muhroji yang dari keluarga miskin, menjadi orang sukses. “Yang utama adalah ikhtiar. Banyak belajar dan kerja keras. Kemudian doa. Muhroji sering Salat Dhuha dan Tahajud. Jangan tinggalkan solat berjamaah. Minta doa orangtua, jangan hanya minta uang saja, tapi doa,” nasehat Anas ke para pelajar.
 
Anas juga mencontohkan tradisi orang Jepang dan Korea yang selalu membungkuk dan hormat pada orang tua dan guru. “Di Eropa, orang bule itu suka mengangkat kakinya dan cuek saat ketemu orang lebih tua. Beda dengan Jepang dan Korea, yang menjaga sopan santun. Ini sesuai ajaran Islam, yang mengajarkan selalu hormat pada orang tua. Ekonomi Eropa sekarang menurun, Jepang naik,” kata dia.
 
Selanjutnya istikhomah. “Tidak boleh putus asa. Siapa yang suka bola. Di Euro kemarin, secara sistem orang mengira Perancis juaranya. Tapi ternyata Portugal yang menang. Ini karena perjuangan yang tak kenal lelah. Kemudian biasakan berbagi. Seperti Muhroji tadi. Jangan-jangan saya seperti ini karena Muhroji. Karena saya sering berbagi dengan dia, akhirnya saat salat dia juga mendoakan saya. Jadi amal jariyah juga penting,” ujar Anas.
 
Sekali lagi, Anas mengatakan, ukuran sukses tidak bisa dilihat dari fisiknya. “Ukuran sukses itu bukan orang yang punya mobil mewah, punya rumah bagus. Tapi apakah orang itu bahagia? Punya mobil bagus, tapi hasil kredit. Akhirnya tidak bahagia. Sukses itu bagaimana saat lulus sekolah mampu menjadi entreprenuer andal. Bisa mencipatakan pekerjaan. Bukan mencari pekerjaan,” Anas menutup kisahnya.
 

(FF/MA)
  1. profil
  2. Kisah Inspiratif
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA