"Mudah-mudahan kegiatan ini bisa menambah pertumbuhan ekonomi di Kalibaru. Semoga bisa berjalan lancar dengan baik," ujar Anas.
Merdeka.com, Banyuwangi - Festival Dandang Sewu kembali digelar di kawasan sentra produksi perlengkapan memasak di Desa Kalibaru Wetan, Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi.
Festival ini menyuguhkan perlengkapan dapur hasil produksi kearifan lokal warga yang sudah ada sejak tahun 1970-an. Ada wajan, dandang serta beragam perlengkapan mulai dari alat oven kue, panci, gelas, cetakan kue sampai sutil.
Festival Dandang Sewu, salah satu event yang bisa dirasakan masyarakat yang tinggal di daerah jauh dari kota Banyuwangi, tepatnya di perbatasan dengan Kabupaten Jember. Selain peralatan dapur yang ditunjukkan, anak-anak Kalibaru menampilkan tarian dengan membawa hasil kerajinan di desanya.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menyampaikan, Festival Dandang Sewu merupakan salah satu cara untuk menguatkan ekonomi kreatif masyarakat di Kalibaru.
"Mudah-mudahan kegiatan ini bisa menambah pertumbuhan ekonomi di Kalibaru. Semoga bisa berjalan lancar dengan baik," ujar Anas saat menyapa lewat video call dengan masyarakat Kalibaru, Rabu (1/8).
Anas mengatakan, sektor perekonomian bisa lebih kuat ketika budaya dan produk kearifan lokal bisa dikenalkan ke publik, salah satunya lewat Festival Dandang Sewu.
"Ini salah satu upaya untuk melestarikan budaya home industri perlengkapan alat dapur. Harapan kami kegiatan ini bisa muncul model dandang, agar perajin bisa lebih kreatif," ujarnya.
Syamsul Arifin (53) salah satu perajin mengatakan, produksi peralatan dapur di Kalibaru bermulai sejak tahun 1965. Saat itu, tiga warga asal Kabupaten Madiun bermigrasi ke Kalibaru, Banyuwangi.
"Mereka kemudian membuat kerajinan dandang dan wajan dari bahan tong drum. Ketiganya namanya Gudel, Sugiyono dan Misrudin," ujar Syamsul yang merupakan generasi kedua perajin dandang.
Syamsul sendiri pertama membuat kerajinan dandang sejak tahun 1978 masih dengan bahan plat dari tong drum bekas.
"Baru tahun 1980 perajin di sini mulai menggunakan bahan seng. Bahannya dari pabrik," jelasnya.
Saat itu, Syamsul masih menjual secara manual dengan dipikul dan keliling. Berbeda dengan saat ini, seiring mulai tingginya permintaan, perajin cukup fokus memproduksi sambil menjual di sepanjang pinggir jalan Kalibaru.
"Waktu itu yang menjadi perajin dandang ada 60-an orang. Kemudian persaingan antar perajin lebih ketat, dan mulai banyak yang bermigrasi keluar kota da provinsi," jelasnya.
Puncaknya, tahun 1996 sampai era krisis ekonomi tahun 1998, banyak warga yang merantau.
"Hanya tinggal 10 orang yang bertahan, saya sendiri pernah ke Makasar dan Bali untuk jualan keliling dandang. Saya berharap festival ini bisa membantu mengenalkan produk kami," katanya.
Baru pada tahun 2000, Syamsudin mulai merasakan manisnya menjadi perajin. Dia dan perajin lainnya, sudah mulai menerima pesanan luar kota tanpa harus keliling.
"Sampai sekarang yang bertahan jadi perajin ada 30-an lebih. Jualnya ke Ternate, Kupang, Sumbawa, Flores, Sumatera, Kalimantan," katanya.
Saat ini, perajin tidak lagi menggunakan tong drum bekas maupun seng, namun dari bahan dasar almunium, stainlees dan monel. Dalam sehari, Syamsul bisa membuat 3-5 perlengkapan dapur dengan harga puluhan hingga ratusan ribu rupiah.
"Sehari kadang buat lima wajan. Biasanya laku ramai pembeli waktu lebaran," katanya.