"Kebun kopi tidak boleh terlalu lembab, karena jamur akan mudah tumbuh. Kalau memilih peneduh tanaman pisang".
Merdeka.com, Banyuwangi - Tidak hanya mempromosikan wisata petik kopi di musim panen, gelaran Festival Ngunduh Kopi 73 di Kelurahan Gombengsari, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, juga berisi upaya peningkatan kemampuan masyarakat petani kopi setempat.
Selain bazar dan pentas seni hiburan, digelar juga seminar penanganan
kopi dari saat di ladang (on farm), di luar ladang (off farm), hulu hingga hilir industri kopi. Hadir sebagai pemateri Abdul Aziz dari Unit Layanan Perbenihan dan Perlindungan Tanaman Perkebunan Banyuwangi di bawah Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Surabaya, Kepala Bidang (Kabid) Hortikultura Dinas Pertanian (Disperta) Banyuwangi Ahmad Khoiri, dan Lia Zen pemilik Jungkir Balik Coffee Sidoarjo.
"Kopi gree bean robusta Banyuwangi mendapatkan cupping skor 80,7 masih di bawah robusta Lumajang yang senilai 85. Ada beberapa kesalahan yang memang dilakukan petani kopi kita," kata Aziz di depan belasan petani kopi Gombengsari, Senin (20/8).
Pertama kebanyakan petani kopi di Banyuwangi belum mengatur cara memotong ranting pohon kopi, sehingga dahan tidak bisa menerima cahaya Matahari sama sekali. Pengaturan tanaman peneduh juga tidak diperhatikan sehingga Matahari sulit tembus, dan pemilihan jenis tanaman juga masih tidak ditata.
"Kebun kopi tidak boleh terlalu lembab, karena jamur akan mudah tumbuh. Kalau memilih peneduh tanaman pisang, maksimal 2 tunas yang dibiarkan tumbuh. Kalaupun sudah ditebang sebaiknya tidak dibiarkan gelondongan sampai membusuk, melainkan dicacah kecil-kecil," kata dia.
Aziz mengatakan kopi sudah memiliki kandungan gula yang disukai jamur, sehingga tingkat kelembapan kebun kopi betul-betul tidak boleh berlebihan. Kemudian memilih buah kopi merah, serta pemilahan biji kopi sesuai ukuran agar matang merata saat disangrai juga belum banyak dilakukan para petani.
Masalah penyimpanan juga masih menjadi masalah saat petani tidak bisa segera mengeringkan biji-biji kopi mereka. Di dalam sak putih dan disimpan di dalam rumah, juga memberikan kelembapan yang bisa meningkatkan perkembangbiakan jamur kopi.
"Jadi kuncinya kita harus mendatangi kebun kita secara rutin, walau tidak setiap hari yang penting sering untuk merawat dan mengatur sanitasinya. Untuk pengeringan para petani bisa bekerjasama dengan
pihak lain yang memiliki pengering yang lebih baik," kata dia.
Dia berpesan agar para petani lebih telaten mengolah kebun dan kopi hasil panennya.
Seorang petani kopi bernama Siswandi mengaku senang ada pelatihan seperti itu, sehingga pengetahuan pengelolaan kopinya bertambah. Dia juga ingin agar seminar serupa diselenggarakan lagi lebih spesifik membahas bibit dan pembaruan tanaman.
"Kopi di kebun saya ada beberapa yang tiba-tiba kering, mati. Saya ganti dengan yang baru kok hasil panennya berbeda. Jadi bagaimana masalah memilih bibit itu. Kebetulan bibit bantuan pemerintah itu hasil panennya bagus, tapi saya tidak kebagian, jadi kalau bisa ada bibit bantuan lagi yang pembagiannya merata," kata pria yang mengaku selalu memetik kopi matang itu.
Seblumnya, Wakil Bupati Banyuwangi Yusuf Widyatmoko yang sebelumnya membuka festival itu mengatakan pertama kali kopi ditanam di Gombengsari pada tahun 1973. Festival Ngunduh Kopi Gombengsari tahun ini juga digelar bertepatan dengan peringatan HUT RI ke-73.
Yusuf mengatakan, bertepatan dengan peringatan HUT RI, pihaknya ingin memerdekakan para petani kopi dari kuasa para tengkulak. Mereka biasanya membeli kopi dari kebun rakyat dengan harga murah. Padahal apabila petani mau memproses kopi dengan lebih baik, harganya lebih
mahal dan menguntungkan.
"Kami berharap dengan diselenggarakannya festival ini, tidak hanya
pariwisata, tapi keilmuan petani akan kopi tanamannya juga berkembang.
Tujuan utamanya petani kopi di Gombengsari lebih mandiri dan
perekonomiannya meningkat," katanya.