1. BANYUWANGI
  2. INFO BANYUWANGI

Menengok polinasi di Green House milik petani di kaki Raung

Menurut para petani desa di kaki Gunung Raung ini, dengan Green House, tanaman lebih steril dan terhindar dari serangan hama.

Polinasi di Green House Banyuwangi. ©2016 Merdeka.com Reporter : Mochammad Andriansyah | Kamis, 19 Mei 2016 15:11

Merdeka.com, Banyuwangi - Untuk menghasilkan tanaman berkualitas dan harga mahal, para petani Dusun Krajan, Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Banyuwangi, Jawa Timur, meminati cara bercocok tanam dalam Green House. Di dalam Green House inilah, para petani melakukan polinasi alias pengawinan tanaman.

Menurut para petani desa di kaki Gunung Raung ini, dengan Green House, tanaman lebih steril dan terhindar dari serangan hama.

Dalam Green House, tanaman juga terhindar dari pencampuran benih lain yang dibawa lebah (zaidiogami) atau karena angin (anemogami), maupun disebabkan oleh air (hidrogami). Proses polinasinya justru dilakukan dengan cara bantuan manusia alias antropogami.

Polinasi sendiri adalah peristiwa jatuhnya serbuk sari (pollen) ke kepala putik (stigma), sehingga terjadi proses pembuahan.

"Kalau di Green House, tanaman tidak mudah diserang hama. Kemudian saat pembuahan tidak bercampur dengan tanaman lain yang dibawa oleh lebah," kata Nurudin, salah satu petani lombok di Desa Jambewangi.

Nurudin juga mengaku, para petani di desanya bekerja sama dengan Benih Citra Asia (BCA) dan East West dari Belanda. "Para petani ambil benih tanaman dari BCA, kemudian hasilnya kita jual ke mereka lagi. Ada juga yang kerja sama East West. Setelah itu, biji-biji ini dibuat apa atau dijual ke mana, petani tidak tahu," kata Nurudin.

Sementara Handoko, petani tomat di desa setempat juga mengatakan saat panen, baik lombok maupun tomat, diambil bijinya dan limbah kulitnya dibuang.

"Yang dijual ke BCA maupun West East itu bijinya. Kulitnya dibuang. Tapi ada yang dijual lagi limbahnya (kulit) ke restoran untuk olahan. Harganya separuh dari harga pasar. Mengikuti harga lombok lokal. Kalau harganya Rp 10 ribu, limbah lombok ini dijual Rp 5 ribu," ‎ujar Handoko yang juga kakak kandung Nurudin.

Sekali panen lombok misalnya, Handoko melanjutkan, dari 2.200 pohon para petani bisa memanen satu kuintal biji lombok. "Proses tanam sampai panen butuh waktu 100 hari. Modal awal sekitar Rp 25 juta. Setelah panen, per kilonya bisa laku Rp 2,5 juta. Hasilnya bisa 10 kali lipat dari tanaman lain," katanya.

Karena hasil menjanjikan, para pemilik lahan pertanian di kaki Gunung Raung ini berani menggaji petani lain untuk membantu melakukan polinasi tanaman di Green Hous.

Seperti yang diungkap buruh tani desa setempat, Katini. Perempuan 45 tahun ini mengaku mendapat bayaran Rp 4 ribu per jam untuk polinasi. "Kerjanya dari pagi, pukul 08.00 sampai 16.00 WIB‎. Per jamnya dikasih Rp 4 ribu," kata Katini.

Dari hasil jadi buruh tani itu, Katini mengaku bisa mendapat uang tambahan untuk biaya anaknya sekolah. "Hasilnya lumayan. Saya jadi buruh tani mulai 2004, dan gabung dengan East West," ucapnya.

Perlu diketahui, limbah tanaman Green House ini oleh warga setempat juga dijadikan makan olahan yang sangat lezat, salah satunya torakur; tomat rasa kurma. Makanan olahan dari limbah tomat ini, oleh warga desa kerap dijadikan hidangan untuk para tamu mereka.

(MT/MA)
  1. Info Banyuwangi
  2. Info Kota
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA