"Tumpeng Sewu, berarti bersih desa. Membersihkan desa dari segala gangguan. Wujud rasa syukur, sudah diberi kemakmuran," kata Suhaimin.
Merdeka.com, Banyuwangi - Tradisi Tumpeng Sewu yang berlangsung di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, diikuti oleh puluhan ribu orang. Sepanjang pinggir jalan desa dan gang, dipenuhi dengan kerumunan warga mengitari tumpengnya masing-masing. Satu tumpeng, rata-rata dinikmati antara 5-10 orang.
Tidak mengenal status sosial, mulai pejabat birokrasi, akademisi, wisatawan, tokoh masyarakat hingga warga biasa, duduk lesehan beralas tikar bersama di pinggir jalan, dan menikmati tumpeng dengan menu yang sama.
Kepala Adat Desa Kemiren, Suhaimin (58) menjelaskan, kali ini jumlah tumpeng yang disajikan di sepanjang jalan berjumlah lebih dari 10 ribu. "Masih banyakan sekarang, tahun lalu jumlahnya masih sekitar 9 ribu tumpeng," ujarnya kepada Merdeka Banyuwangi, Kamis malam (24/8).
Jumlah masyarakat Desa Kemiren, kata Suhaimin, berjumlah 2000 Kepala Keluarga (KK), masing-masing KK rata-rata membuat 5 sampai 20 tumpeng. Mulai sore hari, sekitar pukul 15.00 WIB, warga Kemiren sudah terlihat sibuk memasak tumpeng dengan menu pecel pitik. Salah satu kuliner yang selalu digunakan setiap ritual adat 'bersih desa'.
Bahan kuliner Pecel Pitik, menggunakan bahan dasar daging ayam dengan rempah-rempah dan parutan kelapa. Usai disembelih dan dibersihkan, ayam sengaja dibiarkan utuh untuk kemudian dipanggang di atas bara api tradisional, baru diolah dengan bumbu-bumbu untuk jadi pecel pitik.
Bentuk tumpeng yang mengerucut, disimbolkan derajat masyarakat Desa Kemiren bisa ditinggikan menjulang seperti gunung. Sementara pecel pitik, dalam Bahasa Using berarti "Ketitik barang kang apik" berarti agar harapan masyarakat mendapatkan yang terbaik.
"Tumpeng Sewu, berarti bersih desa. Membersihkan desa dari segala gangguan. Wujud rasa syukur, sudah diberi kemakmuran, ketentraman, kerukunan. Kemudian silaturahmi, semua duduk di bawah, makan bersma, menu yang sama, tidak memandang strata sosial. Gak ada yang ditinggikan, semua sama," terangnya.
Api keabadian blue fire dalam Tumpeng Sewu
Tradisi Tumpeng Sewu di Desa Kemiren, berlangsung pada malam hari sekitar Pukul 18.00 WIB hingga selesai. Usai berdoa, semua masyarakat dari berbagai kalangan menikmati tumpeng dengan penerangan obor yang ditancapkan di sepanjang jalan. Api yang digunakan untuk menyalakan obor, diambil dari Kawah Ijen yang memiliki bara api keabadian, biasa disebut blue fire. Api tersebut, diambil oleh orang tertentu dengan cara profesional.
Suhaimin menjelaskan, prosesi menyalakan obor di sepanjang jalan desa, dilakukan pada saat senja. Disertai dengan arakan kesenian barong. "Arak-arakan barong di jalan sambil nyalakan obor. Baru kemudian warga mengeluarkan tumpengnya dari rumah masing-masing," ujar Senari.
Sementara sumber api yang diambil dari blue fire Kawah Ijen, kata Suhaimin sebagai simbol silaturahmi antar warga di Desa Kemiren jangan sampai putus atau mati, serta sebagai doa agar semangat membangun desa juga tidak pernah padam.
"Nyalakan obor, kata orang tua dulu, ojo sampek mati obore, jangan sampai mati seduluran. Seperti api di Kawah Ijen yang tidak pernah padam," ujarnya.
Dalam proses pengambilan api di Kawah Ijen, kata Suhaimin tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Harus dilakukan dengan pengawasan dan profesional. Sebab, di bagian kawah Gunung Ijen, terdapat gas beracun yang berbahaya bila jaraknya terlalu dekat.
"Tidak bisa sembarangan ngambil. Harus melalui pengawasan dari pihak yang faham. Setelah mengambil api sebelum hari H, saya menjaganya jangan sampai padam, untuk menyalakan semua obor di sini," katanya.
Tradisi Tumpeng Sewu, diselenggarakan setiap tahun di Desa Kemiren setiap minggu pertama dalam Bulan Dzulhijjah. Tradisi ini sudah dilaksanakan turun temurun oleh masyarakat, dengan sebutan awal ritual "Bersih Desa".