Klenteng dibangun oleh komunitas Tionghoa pada tahun 1784.
Merdeka.com, Banyuwangi - Di tengah perkampungan Kelurahan Karangrejo, Banyuwangi, ada satu bangunan tertua yang masih terawat. Bangunan klenteng dengan dominan warna merah, masih tampak cerah dari seberang jalan. Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Hoo Tong Bio, dibangun oleh komunitas Tionghoa pada tahun 1784. Saat ini, usianya sudah 232 tahun.
Kepala Kantor Klenteng Hoo Tong Bio, Ong Kok Yoe (75) menjelaskan, tempat peribadatan umat Konghchu ini seluas 3-4 ratus meter per segi dengan tinggi 9 meter. Klenteng bisa menampung hingga 500 umat beribadah. "Januari besok ini, pas hari ulang tahunnya, ada 200 klenteng yang diundang, dari seluruh Indonesia," ujar Kok Yoe, kepada Merdeka Banyuwangi, pekan lalu.
Bagi Kok Yoe dan umat Konghuchu di Banyuwangi, Klenteng Hoo Tong Bio menyimpan sejarah panjang, sesuai usia bangunan yang sudah ratusan tahun. Dia mengatakan, pendiri Klenteng Hoo Tong Bio, yakni Tan Hu Cinjin. Seorang perantauan yang membangun banyak klenteng. Mulanya Tan Hu Cinjin membangun di Lombok, kemudian di beberapa wilayah Bali seperti Singaraja, Kute dan Negara.
“Akhirnya di Tabanan, bangun Keraton Mengwi, sudah hampir selesai difitnah, terus lari ke Banyuwangi. Terus bangun di sini,” ujar pria yang sudah menjaga Klenteng Hoo Tong Bio sejak tahun 1996 ini.
Setelah membangun di Banyuwangi, Tan Hu Cinjin juga membuat lagi di wilayah Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi, kemudian di Kabupaten Probolinggo dan Situbondo.
“Dari sembilan klenteng yang dibangun, paling besar ya di sini Banyuwangi. Semua klenteng itu yang dipuja satu orang ini (Tan Hu Cinjin),” ujarnya.
Untuk menjaga kerukunan antar umat beragama di lingkungan Klenteng Hoo Tong Bio kata Ong Kok Yoe, setiap peringatan hari ulang tahun selalu memberi sembako kepada warga sekitar klenteng, sekaligus silaturahmi.
Seperti yang diketahui, umat Konghucu baru bisa kembali belajar bahasa mandarin setelah era pemerintahan Gus Dur. Sebelumnya, selama periode pemerintahan Soeharto, agama Konghucu masih belum diakui. Termasuk penggunaan nama pribadi dan klenteng berbahasa mandarin juga harus diganti.
“Selama 32 tahun tidak bisa sekolah mandarin. Pertama Gus Dur membolehkan pendidikan mandarin. Nama Klenteng Hoo Tong Bio dulu gak boleh pakai nama itu eranya Pak Harto. Tahun 66 namanya diganti, Nara Raksita. Diganti lagi seperti yang dulu ya eranya Gus Dur itu,” kenang Kok Yoe.
Kebutuhan belajar Bahasa Mandarin, kata Kok Yoe, karena doa yang digunakan menggunakan bahasa tersebut. “Harapannya ada satu pemimpin yang merangkul umat sendiri untuk sembahyang lagi ke sini. Generasi tuanya tinggal dua sampai tiga ratus umat. Banyak anak-anak yang sudah besar pindah ke luar kota,” ujar Kok Yoe memungkasi.