1. BANYUWANGI
  2. INFO BANYUWANGI

Mepe kasur serentak, tradisi warga Banyuwangi harmoniskan hubungan suami-isteri

"Kalau kasurnya kembali dijemur, bisa kembali empuk dan keluarga bisa harmonis," ujar Senari.

Tradisi mepe kasur warga Banyuwangi. ©2017 Merdeka.com Reporter : Mohammad Ulil Albab | Kamis, 24 Agustus 2017 18:42

Merdeka.com, Banyuwangi - Ratusan kasur dengan warna seragam, merah dan hitam dijemur di masing-masing halaman rumah warga Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi.

Warna hitam dan merah bisa serentak dimiliki warga kemiren, berawal dari wejangan turun temurun dari nenek moyang. Setiap warga kemiren yang sudah berani menikah, akan dibekali kasur warna hitam dan merah agar kehidupan berkeluarganya bisa langgeng.

"Kalau kasurnya kembali dijemur, bisa kembali empuk dan keluarga bisa harmonis," ujar Senari (56), Ketua Panitia kegiatan Mepe Kasur dan Tumpengsewu kepada Merdeka Banyuwangi, Kamis (24/8).

Senari mengatakan, warna merah di pinggir kasur memiliki filosofi berani, sedangkan warna hitam pada bagian atas dan bawah melambangkan kelanggengan hubungan suami-isteri.

"Setiap warga di Kemiren pasti punya kasur berwarna itu. Karena setiap anak mau menikah, pasti akan dibuatkan kasur itu," ujarnya.

Satu Desa Kemiren dengan penduduk mayoritas dari Suku Using, berjumlah 2000 Kepala Keluarga (KK). Masing-masing KK rata-rata memiliki 2-3 kasur. Bisa diperkirakan, tradisi Mepe Kasur (Jemur Kasur) yang menjadi rangkaian acara Festival Tumpeng Sewu ini, berjumlah sekitar 2000-3000 kasur, dijemur serentak dalam sehari.

"Kalau tradisinya sudah turun-temurun sejak dulu, tapi kalau serentak menjemur dalam acara festival ini baru 6 kali," tambah Haidi Bing Slamet, panitia sekaligus perwakilan anggota Adat Using.

Rangkaian tradisi Mepe kasur dan Tumpengsewu, dimulai pada pagi hari pukul 08.00 WIB. Masyarakat Using di Desa Kemiren mulai menjemur kasurnya di halaman rumah, sambil sesekali terus dipukul agar debu di kasur bisa bersih.

Setelah itu, masyarakat Desa Kemiren pada sore hari akan melakukan ziarah ke makam nenek moyang Buyut Cili. Kemudian mengadakan arakan barong di sepanjang jalan desa.

"Arak-arakan jalan sama nyulut obor, setelah itu tumpeng dikeluarkan dari rumah masing-masing warga. Doa, nanti makan bersama," ujar Haidi.

Kegiatan, akan berlangsung hingga semalam suntuk. Pada malam harinya, warga Kemiren akan melakukan baca Lontar Yusuf, yang berisi kisah para nabi.

"Habis itu baca lontar yusuf satu malam full," terangnya.

Bersih-bersih desa

Tidak hanya sebagai simbol doa agar kehidupan berkeluarga suami-isteri bisa langgeng, Tradisi Mepe Kasur dan Tumpengsewu ini merupakan salah satu ritus adat untuk menjauhkan diri dari penyakit dan bencana. Sebelumnya kegiatan ini bernama "Bersih Desa".

Dewan Pembina Masyarakat Using Banyuwangi, Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara, (Aman) Adi Purwadi, menjelaskan menjemur kasur merupakan simbol bersih desa tidak hanya di luar, namun juga dari dalam rumah.

Kasur menjadi bagian paling dekat dengan manusia, sehingga perlu dibersihkan agar dijauhkan dari penyakit.

"Kenapa ada mepe (jemur) kasur, filosofi bersih diri yang paling privasi, dari segi kesehatan harus dibersihkan, lewat tempat tidur. Selain membersihkan diri dari rohani dan jasmani," terangnya Purwadi.

Purwadi melanjutkan, bentuk kasur yang seragam ini menurutnya hanya ada di Banyuwangi, khususnya di Kemiren yang masih melestarikan tradisi.

"Satu satunya di dunia yang kasurnya serentak sama ya di Kemiren. Merawat keharmonisan keluraga dari kasur," jelasnya.

Jauh sebelum itu, budaya Mepe Kasur dan Tumpengsewu di Kemiren, diperkirakan sudah ada sejak zaman Kolonial Belanda, namun dengan sebutan dan cara yang berbeda.

Purwadi menjelaskan, di Kemiren ada tradisi bernama Pancen, dengan memberikan upeti kepada lurah atau pemimpinnya. Pemberian Pancen, merupakan wujud terimakasih masyarakat kepada pemimpinnya, sebagai ganti dari upah tunjangan yang belum ada.

"Semacam upeti. Tidak ada tunjangan, Pancen sebagai bentuk terimakasih kepada petinggi. Kemudian selamatan bersih desanya diadakan di rumah pemimpin itu," terangnya.

Tradisi Pancen sudah tidak berlaku sejak tahun 2000-an. Ketika pemimpin desa sudah memiliki tunjangan.
"Kemudian karena sudah tidak berlaku, masyarakat kemudian dusuruh bikin selamatan saja. Dibuat dari masing-masing rumah," jelasnya.

Saat ini, masing-masing warga membuat tumpeng dengan ayam panggang antara 2-3. Bila ditotal usai disatukan, jumlahnya bisa ribuan tumpeng. Kegiatan ini rutin digelar setiap tahunnya.

"Tumpeng Sewu dan mepe kasur ini diselenggarakan setiap bulan pertama pada Bulan Dzulhijjah. Memilih hari Kamis atau Senin," terangnya.

Antisah (38) salah satu warga Kemiren yang sedang terlihat memukul kasur jemurannya mengatakan, satu bulan sebelum menikah dirinya sudah diberi hadiah kasur oleh orang tuanya. Harapannya agar hubungannya dengan suami bisa langgeng.

"Kalau mau kawin pasti dibuatkan. Satu bulan sebelum menikah sudah dibuatkan. Sekarang anak saya sudah dua, yang menikah satu," katanya.

(MT/MUA)
  1. Seni dan Budaya
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA