1. BANYUWANGI
  2. INFO BANYUWANGI

Tradisi usir pagebluk, petani Banyuwangi menjadi kebo-keboan

"Yang jadi kebo harus keturunan, dan orang Aliyan asli," kata Budiyanto.

Acara kebo-keboan di Bannyuwangi. ©2017 Merdeka.com Reporter : Mohammad Ulil Albab | Minggu, 24 September 2017 14:02

Merdeka.com, Banyuwangi - Masyarakat Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi kembali menggelar tradisi Keboan Aliyan. Sebuah tradisi turun temurun sebagai wujud syukur atas hasil bumi dan mengusir pagebluk, hama penyakit.

Mulai pukul 06.00 WIB, saat gong ditabuh, puluhan petani di Desa Aliyan kesurupan menjadi kerbau. Sebuah singkal buatan ditaruh di belakang badannya dan sesekali sambil menceburkan diri ke kubangan lumpur.

Sementara Ibu-ibu dan sanak saudara, masing-masing membawa ember berisi air yang siap di guyurkan ke Keboan Aliyan setiap menceburkan diri ke kubangan lumpur.

"Segera disiramkan ke mukanya, agar kotorannya tidak masuk ke mata, hidup maupun mulutnya. Karena yang jadi kebo dalam keadaan tidak sadar," ujar Budiyanto, Ketua Panitia Keboan Aliyan kepada Merdeka Banyuwangi, Minggu (24/9).

Saat ini, ada 67 petani yang menjadi kebo-keboan yang terpisah di dua lokasi, barat dan timur di Desa Aliyan. Semua masih memiliki garis keturunan dari putra Buyut Wongso yang menjadi Keboan pertama, yakni Raden Pringgo dan Raden Pekik.

"Yang jadi kebo harus keturunan, dan orang Aliyan asli. Sebelum kerasukan, angota kerabat kebo melakukan ziarah ke makam Buyut Wongso," terangnya.

Dari sejarah tutur, tradisi Keboan Aliyan bermula saat Desa Aliyan yang dulu bernama Padukuhan Karangmukti diserang hama penyakit wereng, tikus dan pagebluk. Buyut Wongsokenongo kemudian mendapatkan petunjuk untuk mengutus kedua anaknya bertapa.

"Raden Pringgo sebelah barat, kalau raden pekik di sebelah selatan padukuhan. Usai bertapa, keduanya mendapatkan petunjuk bergulung gulung di lumpur di padukuhan karangmukti. Pagebluk dan hama penyakit akhirnya bisa berhenti," katanya.

Bangga menjadi Kebo

Masyarakat Desa Aliyan yang masih memiliki garis keturunan dengan Buyut Wongso, dipastikan akan mengalami kerasukan saat dimulainya ritual tahunan ini.

Sebagai keturunan pewaris laku tradisi Keboan, beberapa yang migrasi ke luar daerah dan provinsi rela pulang untuk tampil menjadi kebo di kampung halamannya.

Sudir (38) warga Desa Aliyan, rela pulang dari Sumbawa untuk menjadi Kebo di kampung halamannya.
"Saya di Sumbawa kerja, dan setiap ada tradisi keboan saya pulang. Karena saya juga bangga bisa melestarikan budaya dari nenek moyang," ujar Sudir, usai sadar menjadi keboan.

Begitu juga dengan Ilham (27), yang bekerja di Kalimantan, juga rela pulang ke Desa Aliyan untuk menjadi kebo. "Kalau tidak pulang di sana (Kalimantan) bisa tetap kerasukan. Jadi tidak bisa menghindar," ujarnya.

Ketua Panitia Keboan Aliyan, Budiyanto menambahkan, setiap tahun pasti banyak yang pulang ke kampung halaman untuk menjadi kebo.

"Ada yang dari Bali, Sumbawa, Kalimantan, semua pulang ke Desa Aliyan hanya untuk jadi kebo. Kalau lebaran Idul Fitri mereka masih bisa, tapi kalau tradisi ini mereka pasti pulang," tuturnya.

Saat tradisi berlangsung, sepanjang jalan Desa Aliyan terdapat puluhan gerbang dari bambu bernama Kori. Segala macam hasil bumi digantung sebagai wujud syukur dan kesuburan.

Sementara di belakang rombongan keboan, ada seorang perempuan yang ditandu dan didandani untuk menjadi peran Dewi Sri, dewi kesuburan. Sepanjang jalan, warga berjoget, bergembira sambil berteriak "Aliyan Ndue (punya) Kebo".

Puncak acara, berada di tengah areal persawahan. Saat kebo-keboan datang, langsung menceburkan diri ke kubangan lumpur. Sebuah musik rancak terus ditabuh mengiringi kebo membawa bajak dan berputar mengelilingi lahan sawah.

Usai disimbolkan telah dibajak, para kebo-keboan membawa benih padi untuk kemudian disebarkan. Warga kemudian berebut benih tersebut yang dipercaya mendatangkan kesuburan dan panen melimpah.

(MT/MUA)
  1. Info Banyuwangi
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA