1. BANYUWANGI
  2. PROFIL

Kisah Bilal, seniman difabel pernah jadi pengemis hingga pemahat Barong

"Saya bisa buat barong, Ogo-ogo mulai dari seukuran gantungan kunci sampai yang besar untuk pertunjukan seni Barong".

Mustaq Bilal (37) seniman pemahat. ©2018 Merdeka.com Reporter : Mohammad Ulil Albab | Kamis, 25 Oktober 2018 15:09

Merdeka.com, Banyuwangi - Mustaq Bilal (37) seniman pemahat kepala Barong terlihat sibuk memahat kayu balok di lorong rumahnya, di Lingkungan Karangasem, Kelurahan Bakungan, Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi. Dengan tekun, satu persatu guratan kepala barong dipahat dengan perlahan.

Bagian tangan kanan Bilal, terlahir dengan fisik mengecil tanpa jari-jari tangan. Agar bisa memahat, palu kayu diikatkan dengan kain di lengannya. Sementara bagian tangan kirinya dia gunakan untuk memegang alat pahatan.

"Dulu awalnya pahatnya di tangan kanan, Palu di tangan kiri, sulit. Terus cari akal, saya coba mengikat palu di lengan, hasilnya lancar," kata Bilal saat ditemui di lorong rumahnya, Kamis (25/10).

Bilal, juga terlahir dengan kondisi fisik tidak memiliki dua kaki. Kayu balok yang dia pahat berukuran 32x36 centimeter, hampir sama besar dan tinggi dengan ukuran dirinya.

"Saya bisa buat barong, Ogo-ogo mulai dari seukuran gantungan kunci sampai yang besar untuk pertunjukan seni Barong," kata dia.

Bilal sudah menekuni kerajinan pahat barong sejak tahun 1999. Berawal dari hobinya terhadap seni Barong hingga aktif mengikuti seni pertunjukannya.

Jauh sebelumnya, sejak lulus dari bangku Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), bakat memahat sudah terlihat, dengan mengukir barong berbahan kayu menggunakai pisau cutter.

"Belajarnya semua otodidak, saya juga aktif di kesenian barong, jadi penabuh gong, kadang juga gamelan," terangnya.

Saat ini, selain produktif membuat kepala barong, Bilal juga memiliki kelompok seni pertunjukan bernama Seni Barong Ogoh-ogoh Sekar Budoyo yang sering tampil dalam undangan hajatan pernikahan dan khitanan.
Saat memahat kepala barong, Bilal dibantu saudara dan tetangganya. Terutama untuk urusan menggergaji balokan kayu jenis nangka dan mangga.

"Kesulitan untuk menggergaji, dibantu saudara tetangga," jelasnya.

Selain itu, kekuatan untuk terus memahat kayu juga terbatas. Setiap dua jam sekali, dia akan istirahat agar tenaga, terutama bagian lengan kanannya bisa pulih.

Untuk menyelesaikan satu buah kepala barong besar, dia butuh waktu 3-5 hari, tergantung ukuran besarannya.
"Kalau besar butuh waktu 5 hari, kecil 3 hari. Untuk mewarnai saya belajar dari di google, cara memadukan warna," jelasnya.

Satu kepala barong dia jual dengan harga mulai dari Rp 60 ribu sampai Rp 1,5 juta. Sejauh ini, Bilal hanya membuat barong ketika ada pesanan. Untuk mengenalkan hasil kerajinannya, dia juga memanfaatkan media sosial.

"Rata-rata yang pesan dari Banyuwangi sendiri, terakhir paling jauh ada dari Pati dan Kupang. Satu bulan rata-rata ada dua sampai tiga yang pesan," terangnya.

Pernah dipkerjakan jadi pengemis

Berawal mimpinya ingin memiliki sepeda motor sendiri, Bilal pernah tergiur dengan tawaran pekerjaan sebagai penjaga toko kitab di Kalimantan pada tahun 2000-an dengan upah Rp 1,5 juta. Dia bersama dua temannya asal Banyuwangi yang juga penyandang disabilitas tuna grahita, berangkat ke pihak yang menawari pekerjaan di Madura.

"Berangkat dari sini ke Madura, di sana satu minggu di rumah bos. Katanya naik pesawat ternyata pakai jalur laut," jelasnya.

Setelah sepekan di Madura, Bilal akhirnya berangkat ke Kalimantan. Rasa curiga mulai dia rasakan saat berangkat ke Kalimantan kembali dengan jalur transportasi laut.

"Dari sana saya ingin tahu tempat kerjanya seperti apa. Malam-malam diantar di tempatnya, ternyata saya diturunkan di tengah pasar, disuruh duduk di tengah pasar. Bukan jadi penjaga toko, tapi jadi pengemis," katanya pelan.

Mulanya dia ingin berontak, dan ingin dipulangkan ke Banyuwangi, karena takut mendapat kekerasan dia menuruti keinginan penipu.

"Saya bilang, saya tidak mau untuk menadahkan tangan, kata orangnya duduk sini saja. Tapi gimana lagi mau nangis gak bisa. Kalau berontak takut pulang hanya nama," kenangnya.

Bilal dan dua temannya dari Banyuwangi, ditempatkan untuk mengemis di lokasi yang berbeda. Pada jam yang sudah ditentukan, dia harus pulang dan menyerahkan hasil mengemisnya.

"Tidurnya di rumah dikumpulkan, berangkat mulai pagi jam 7-an, sampai siang pulang. Setengah hari rata-rata dapat Rp 200 ribu. Saya lupa tahunnya, tapi yang jelas era Presiden SBY," kata dia.

Bilal akhirnya menyusun strategi untuk kabur dengan teman-temannya, setelah bertahan jadi pengemis selama sepekan.

"Hari ketujuh, berunding sama teman, kabur, nginap di saudara teman. Dan uang gak ada, saya jual handphone, dan teman dihutangi untuk beli tiket pulang," ujarnya.

Bilal melanjutkan, meski kondisi fisiknya terbatas, dia tidak mau bekerja dengan modal dikasihani seperti pengemis. Keinginannya memiliki sepeda motor akhirnya bisa tersampai saat pulang ke Banyuwangi dari hasil membuat kerajinan barong.

"Kerja karena ingin punya motor, akhirnya bisa beli dari bikin barong, total dengan modif habis Rp 7 jutaan. Buat teman-teman difabel jangan sampai putus asa, jangan sampai bermalas malasan. Saya saja punya semangat kerja," pesannya.

Menghidupi keluarga kecilnya dari kerajinan pahat barong

Sejak 2017, Bilal memberanikan diri untuk melamar perempuan yang juga penyandang disabilitas asal Kabupaten Jember. Saat ditemui, Mila Yunita Sari (24), istri Bilal terlihat sibuk membantu menghaluskan dengan amplas kepala barong yang selesai dipahat. Sesekali, dia sambil mengawasi anaknya, Muhammad Kamilul Hubil Izah berusia 10 bulan yang masih tertidur lelap.

"Kalau anak saya sudah tidur saya bisa bantu-bantu, sehari bisa menghaluskan tiga kepala barong," jelasnya.
Dari hasil memahat, Mila mengaku sudah bisa mengatur keuangan untuk kebutuhan keluarganya. "Alhamdulillah cukup untuk beli susu formula, anak saya sesar dan saya konsumsi obat-obatan setelah sesar, jadi anak pakai susu formula sejak lahir," jelas Mila.

Kondisi Mila sendiri, kedua kakinya kecil sejak lahir. Dari kondisinya, Mila divonis terserang virus polio.

"Katanya dulu waktu kecil jatuh dari atas meja, terus salah pijat. Tapi kata orang sekarang bilangnya polio, kan kecil kakinya," katanya.

Sementara itu, Bilal mengaku bisa kenal Mila melalui media sosial facebook. Di usianya 36 tahun saat masih lajang, dia memberanikan diri kenalan dan melamar Mila.

"Kenalan di facebook selama sebulan, kemudian ditantang datang ke rumahnya, ya saya ke sana langsung dengan orang tua, saya lamar. Saya ke Jember bawa motor modif milik saya sendiri," kenangnya.

Dalam sebulan, saat ini pemasukan dari memahat bisa mencapai Rp 2-3 juta, namun tergantung ada tidaknya pemesan untuk membuat barong. Sementara untuk pemasaran, Bilal dan Mila memanfaatkan media sosial untuk mengenalkan hasil kerajinannya.

"Sebagai pembuat barong, saya juga ingin melestarikan seni budaya nusantara ini, lewat layanan pertunjukan seni barong kami," katanya.

(ES/MUA)
  1. Seniman
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA