1. BANYUWANGI
  2. PROFIL

Seniman ini rogoh kocek sendiri demi ajarkan tari pada anak didik

Namanya Slamet, ia ingin mempertahankan seni dan budaya Banyuwangi.

©2016 Merdeka.com Reporter : Mohammad Ulil Albab | Selasa, 15 Maret 2016 19:45

Merdeka.com, Banyuwangi - Slamet Abdul Rajat, pria kelahiran Banyuwangi tahun 1942 ini berupaya membangkitkan seni tari Banyuwangi yang mulai ditinggalkan. Padahal pada tahun 60-an seni tari hasil ciptaan Slamet sangat populer. Sampai sekarang, jumlah seni tarinya ada 12,  di antaranya iringan tari dari lagu Ayo Sekolah, Nandur Jagung, Layangan Pedot, Padang Mbulan, Genjer-genjer ciptaan Muhamad Aried dan lain-lain.

Di usianya ke-75, Slamet membuat sanggar seni bernama “Angklung Soren” untuk membangkitkan kembali seni tarinya. Pria yang akrab dipanggil Slamet Menur ini pernah bergabung dengan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) pada tahun 1962. Slamet telah menciptakan beberapa kesenian tari dari lagu-lagu populer era 1960 sampai 1980-an.

"Semua tarian yang saya ciptakan ada nilai filosifisnya. Sesuai lirik lagu yang ada. Rata-rata tentang aktivitas masyarakat sehari-hari dan keindahan alam," tuturnya pada Merdeka Banyuwangi, Selasa (15/3).

Menurutnya, saat ini, Sanggar Angklung Soren sedang dalam proses pembuatan. Lokasinya berada di kawasan belakang SPBU Olehsari, Jl. Pancoran, Banyuwangi. “Alhamdulillah sudah 75 persen,” ujarnya.

Sejak bergabung dengan Lekra pada 1958, Slamet bersama budayawan Banyuwangi seperti Andang CY, Mohamad Arief, Endro Wilis, dan lainnya membentuk kelompok seni angklung bernama Sri Muda (Seni Rakyat Indonesia Muda), di bawah naungan Lekra. Dari situ tercipta beberapa tarian dari lagu Lekra, seperti Kembang Kopi, Nandur Jagung dan Ayo Sekolah.

Slamet menjelaskan, organisasi yang terkenal di Banyuwangi waktu itu Sri Muda,  dan setiap daerah ada organisasi keseniannya dengan nama berbeda. Sejak Sri Muda, Slamet sudah seringkali menjadi pelatih tari di berbagai daerah, seperti di Mojokerto, Surabaya, Malang. Termasuk Banyuwangi sendiri. “Saat itu mencari orang yang mau dilatih gampang, tidak seperti sekarang,” keluhnya.

Slamet bergabung dengan Lekra, karena ia mencintai seni. Pada tahun 1965, kesenian Lekra berada pada puncaknya, sampai pada peristiwa G 30 S, yang membuat semua karya-karyanya dilarang. “Saya ndak ngerti politik, yang penting jiwa saya seni. Tujuannya ya seni,” imbuhnya.

Sampai pada tahun 1966, Slamet direkrut di Lembaga Kesenian Nasional (LKN) di bawah naungan Partai Nasional Indonesia (PNI). Dari situ, ia sudah tidak lagi dikenai wajib lapor.

Slamet tertarik di bidang kesenian karena Ayahnya merupakan pelaku seni sejak era pendudukan Belanda sampai di usia akhirnya pada tahun 1958. “Ayah saya pada waktu zaman belanda, seorang pemain sandiwara. Setelah merdeka, saat ada perang gerilya ayah saya juga pemain ketoprak,” jelas laki-laki yang menekuni usaha percetakan ini.

Sambil mendengarkan lagu Podho Nginang yang berkisah tentang perang Puputan Bayu di Belambangan, Slamet membuka catatan syair-syair yang masih dia ingat. Ada 50 lebih lagu banyuwangi sudah dia catat baru-baru ini, dan semua termasuk lagu tidak terdokumentasikan. Dia kemudian bercerita tentang seni tari yang diciptakan saat bergabung dengan LKN.

“Dari situ, saya menciptakan tarian Tani, Padang Bulan. Terus tarian Jaran Goyang, Jaring Kambang. Setelah LKN vakum, direkrut sama orang-orang Golkar, pada tahun 1980-an,” kenangnya.

Saat ini Slamet mengaku kesulitan mencari orang yang mau diajari menari. Bahkan dia harus membayar para anak didiknya agar mau diajari. “Gak seperti dulu, saat saya masih di Sri Muda, sangat gampang mencari penari. Semua antusias. Sekarang, saya harus mengeluarkan uang Rp 250 ribu untuk para peserta, agar mereka mau belajar,” keluhnya.

Melalui Sanggar Angklung Soren, Slamet baru akan mencari orang yang benar-benar mau belajar, tanpa harus dibayar. Menariknya, Slamet membangun sanggarnya dengan uang pribadi, hasil penjualan rumahnya. “Setelah laku, saya beli tanah dan membut sanggar itu, meskipun itu masih kurang. Soalnya belum ada bantuan dari pihak maanapun,” ujarnya.

(MH/MUA)
  1. Seni dan Budaya
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA