Salah satu barang yang diminati adalah songkok sejak, yaitu peci berbahan dasar bambu.
Merdeka.com, Banyuwangi - Desa Gintangan, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi, terkenal dengan sentra produksi kerajinan bambu. Sejak tahun 1980-an di Desa Gintangan sudah memasok kerajinan bambu seperti tempat buah, tudung saji, tempat kue, parcel buah dan lain sebagainya.
Menariknya meski menjadi desa penghasil kerajinan bambu, di Desa Gintangan sendiri tidak terdapat bambu. Terutama jenis bambu apus yang dibutuhkan untuk bahan kerajinan di sana. "Di sini ya ada bambu tapi jenisnya lain, tidak bisa untuk kerajinan membuat songkok ini. Kami mengambil bahan bambu dari desa Sempu," ujar salah satu pengrajin songkok dari anyaman bambu, Untung Hermawan (45) kepada Merdeka Banyuwangi, Kamis (17/11).
Sebagai pengrajin songkok berbahan anyaman bambu di Desa Gintangan, Untung sudah berhasil memproduksi minimal 500-700 songkok anyaman bambu per minggu. Ia menjelaskan dirinya merupakan salah satu pengrajin generasi kedua di Gintangan. Sebelum tahun 1980-an di Desa Gintangan sebenarnya sudah membuat kerajinan bambu.
"Sebelum tahun 80-an sudah ada produksi barang-barang tradisional, tenong, irig, kukusan. Kalau ini gak butuh bambu khusus, cukup dari bambu sekitar desa sini," jelasnya.
Baru pada tahun 80-an ada beragam inovasi baru yang dipopulerkan oleh Pak Waras dan Matrawuh. Mereka berdua merupakan generasi pertama yang coba mengembakan kerajinan bambu untuk meningkatkan nilai jual. Salah satu murid yang diajari menganyam yakni Untung sendiri.
"Saya generasi ke dua. Mereka sesepuh pengrajin sini. Saya berguru kepada mereka berdua. Lama-kelamaan untuk kerajinan ini butuh bambu apus," kata Untung.
Sebelumnya, ia hanya membuat kerajinan seperti keranjang dan tempat buah. Baru pada tahun 2012, Untung membuat kerajinan songkok sejak. Saat ini dia sudah memiliki 40 pekerja ibu-ibu rumah tangga yang kebagian tugas menganyam lembaran tuntrum dengan berbagai motif. Lembaran anyaman ini lah yang kemudian dibentuk menjadi songkok.
"Pekerja bagian pembentukan ada 6 orang, kalau penganyam sekitar 40 orang. Ibu-ibu rumah tangga yang nganyam lembaran," ujar dia.
Mereka rata-rata menghasilkan satu lembar anyaman tiap harinya. Untung menghargai Rp 13 ribu per lembar. Sedangkan untuk harga jual songkok yang sudah dipernis dan siap pakai senilai Rp 25 ribu per biji.
"Mereka duduk-duduk (pekerja) sambil buat songkok gini, sudah bisa dapat Rp 100 per hari. Belum kalau itungan lemburnya bisa sampai Rp 130 ribu," kata Untung.
Pekerja bagian pembentukan minimal dalam sehari bisa membuat 30 songkok. Permintaan Songkok sebagian besar ke Madura, Jombang, Kediri dan tempat-tempat seperti pondok pesantren dan wisata religi. Ia mengaku masih membutuhkan banyak pengrajin untuk membuat lembaran anyaman bambu truntum. Terutama untuk memenuhi permintaan pasar yang membutuhkan produksi sampai ribuan. "Pengrajinnya masih kurang. Jadi belum berani saya menerima permintaan pasar dalam jumlah ribuan," katanya.