1. BANYUWANGI
  2. INFO BANYUWANGI

Banser dan Pecalang bersama-sama jaga keamanan Nyepi di Banyuwangi

"Toleransinya tinggi. Seperti tadi malam saat Ogoh-ogoh mereka juga bantu mengamankan," kata Putu.

Banser dan Pecalang menjaga keamanan Nyepi. ©2017 Merdeka.com Reporter : Mohammad Ulil Albab | Selasa, 28 Maret 2017 17:41

Merdeka.com, Banyuwangi - Suasana sepi tanpa ada kendaraan lewat maupun aktivitas warga, sangat terasa di Dusun Patoman Tengah, Desa Patoman, Kecamatan Blimbingsari, Kabupaten Banyuwangi. Hanya ada Pecalang dan Banser yang menjaga di setiap gang jalan, agar pelaksanaan ibadah Nyepi berjalan lancar.

Satuan keamanan dari dua agama antara Islam dan Hindu ini, saling bekerja sama agar ibadah Nyepi di Banyuwangi bisa berjalan lancar.

"Ini merupakan cermin Kebhinekaan kita. Kalau umat Islam, Kristen dan agama lain ada perayaan agama, Pecalang kami juga ikut mengamankan," ujar I Gusti Putu Widana, Ketu Adat Banjar Patoman Tengah di sela melakukan penjagaan, Selasa (28/3).

Putu Widana mengatakan, di Dusun Patoman Tengah dan Amertasari terdapat 235 Kepala Keluarga yang merupakan umat Hindu. Maka setiap melaksanakan Ibadah Nyepi, jalan-jalan di lingkungannya akan ditutup agar masyarakat bisa beribadah dengan tenang.

Saat tiga orang Banser datang ke desanya untuk membantu penjagaan, Putu Widana langsung menyambut dan membagi tugas bersama kepada para Pecalang. Dia menilai nilai toleransi antar umat beragama di Banyuwangi sangat tinggi. Saat perayaan Ogoh-ogoh, perangkat Banser juga membantu mengamankan.

"Toleransinya tinggi. Seperti tadi malam saat Ogoh-ogoh mereka juga bantu mengamankan. Termasuk dari Muspika, Koramil, Polsek dan warga sekitar," ujarnya.

Pelaksanaan Ibadah Nyepi, berlangsung 24 jam mulai Pukul 06.00 WIB tadi pagi hingga 29 Maret besok di waktu yang sama. Selama Nyepi, umat Hindu akan melakukan catur brata, antara lain tidak boleh makan dan minum, tidak bepergian, tidak menyalakan api dan lampu dan segala aktivitas yang bersifat hiburan.

Semua berhentinya aktivitas tersebut, juga disesuaikan dengan keadaan. Seperti Pecalang yang memiliki tugas keamanan, dibolehkan keluar dari gang rumah.

"Mobil dan kendaraan juga boleh keluar kalau ada emergensi, misalkan orang melahirkan, dan sakit keras. Itu pun harus dikawal petugas," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Banser Tanggap Bencana, Untung Hermawan yang datang untuk membantu penjagaan mengatakan kegiatan ini merupakan bentuk solidaritas kerukunan antar umat beragama.

"Kami membagi tugas jaga, sesuai perintah dari pengurus Banser Kabupaten untuk menjaga Ibadah Nyepi. Nanti malam ada tiga anggota Banser lagi, karena yang paling penting nanti malam mengantisipasi adanya kerawanan sosial," ujar Untung.

Sekitar pukul 13.00 WIB Untung bersama tim Banser dan Pecalang terlihat sedang menjaga beberapa titik jalan di lingkungan Patoman Tengah. Beberapa kendaraan yang lewat seperti sepeda motor sempat diperingatkan agar tidak melintas.

"Dia mungkin lewat di gang-gang kecil. Karena di sini ada banyak jalur," ujarnya bersama Pecalang.

Dusun Patoman Tengah dan Amertasari memang berbada dengan kondisi tempat tinggal umat Hindu di desa atau kecamatan lain di Banyuwangi. Seperti di kawasan Kecamatan Pesanggaran, Tegaldlimo dan Muncar, tempat tinggal Umat Hindu berbaur dengan agama lain. Sehingga jalan-jalan tidak bisa ditutup selama Ibadah Nyepi.

Bali kecil di tengah Banyuwangi

I Gusti Putu Widana menyebut Dusun atau Banjar Patoman Tengah dan Amertasari seperti Bali kecil yang ada di Banyuwangi. Mulai dari bahasa dan kebudayaan, sama dengan masyarakat Hindu di Bali.

Perkiraannya, pada 1836 banyak warga Bali yang melakukan migrasi ke Banyuwangi akibat serangan Kolonial Belanda. Disusul kemudian tahun 1963, waktu Gunung Agung di Bangli meletus. Sebagian merupakan orang-orang yang diasingkan akibat pernikahan beda kasta.

"Dari sejarahnya warga sini keturunan dari Bali. Kalau umat Hindu yang ada di Tegaldlimo, Pesanggaran, Alas Purwo, itu umat Hindu asli Jawa. Kalau di sini umat Hindu asli Bali, percaya dengan leluhur dan Tri Murti," ujar Putu Widana.

Dia melanjutkan, mulanya sebagian besar tinggal di kawasan Kota Banyuwangi, karena semakin bertambah jumlah penduduknya mereka babat hutan di Desa Patoman sekitar tahun 1930.

Meski menggunakan Bahasa Bali, masyarakat Desa Patoman Tengah Ini juga memahami dan bisa berbahasa Jawa dan Using. Semua berbaur dengan masyarakat asli Banyuwangi.

(MT/MUA)
  1. Seni dan Budaya
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA