"Saya akhirnya juga tahu kalau putri malu, krangkong, daun ketapang dan daun jati yang jatuh bisa untuk pewarna alam," kata Sri.
Merdeka.com, Banyuwangi - Di Banyuwangi, Jawa Timur, industri batik ramah lingkungan terus dikampanyekan. Para pelaku industri batik terus diajari bagaimana menciptakan pewarna alam dari lingkungan sekitar.
Designer Nasional Midian Sernat Sihombing Hutasoit-pun didapuk sebagai tutor. Pelatihan dilakukan di Sanggar Batik Sekar Bakung milik Sri Sukartini Gatot sejak 23 hingga 25 Agustus 2016.
Alumnus Fakultas Seni Rupa jurusan Kria Tekstil di Universitas Kesenian Jakarta (UKJ) ini, mengajari para pelaku industri batik di Banyuwangi bagaimana mengembangkan kreativitasnya dengan memanfaatkan potensi alam sekitar.
Pria asal Medan, Sumatera Utara yang lebih dikenal dengan Mardi Sihombing itu juga mengaku mengapresiasi geliat usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) batik di Banyuwangi.
Dia menilai, batik di Tanah Blambangan ini memiliki potensi untuk dikembangkan lebih besar lagi. Apalagi, secara bertahap, pasar batik mulai terbentuk dengan kehadiran para wisatawan.
"Asal telaten, lalu ada sentuhan marketing, ini akan sangat bagus. Sistem kerjanya perlu dibangun. Dengan pewarna alam juga pasarnya sangat tinggi. Di sini saya mendorong kreativitas, bagaimana membentuk komposisi dan pewarnaan. Potensinya luar biasa," ujar Mardi di sela pelatihan.
Mardi juga menjelaskan, membuat pewarna alam sangatlah mudah. Para pembatik bisa mencari di lingkungan sekitarnya. Ada beragam tanaman yang bisa dimanfaatkan, seperti daun krangkong (sejenis kangkung), daun lamtoro, daun mangga, jati, jengkol, kulit kopi, daun ketepeng, putri malu, kumis kucing dan sebagainya.
"Mereka (perajin batik) juga kita ajari bagaimana membuat motif dengan melihat kondisi sekitarnya. Misalnya seperti motif bunga dari tanaman di sekitar rumahnya dan sebagainya. Sehingga kreativitas mereka tidak kaku, bebas dan bisa berkembang. Hasilnya juga luar biasa," tuturnya.
Sementara Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas yang datang melihat pelatihan di Sangggar Batik Sekar Bakung mengatakan, pelatihan batik dengan pewarna alam ini dilakukan berkala dalam rangkaian menuju Banyuwangi Batik Festival (BBF) dan Swarna Fest yang digelar pada 9 Oktober mendatang.
BBF sendiri adalah agenda tahunan Banyuwangi untuk mendorong geliat industri batik. Adapun Swarna Fest adalah ajang unjuk kreasi industri tekstil berpewarna alam yang digagas Kementerian Perindustrian.
"Kami terus mendorong kinerja para perajin batik. Dampak ekonominya langsung ke UMKM dan perajin. Misalnya, makin banyak wisatawan yang bawa pulang oleh-oleh batik," ungkap Bupati Anas.
Dengan batik pewarna alam, kata Anas, para perajin bisa lebih untung. Harga batik ramah lingkungan relatif bisa lebih tinggi karena cukup diminati konsumen dengan segmen tertentu.
"Dengan konten pemasaran, batik ini memakai pewarna alam, harganya bisa lebih bagus. Ada pasar khusus yang berminat dengan produk seperti ini, sekaligus ini juga memotong mata rantai distribusi kain, pewarna kimia dan pewarna alam yang sebelumnya mereka beli dari daerah lain," paparnya.
Sedangkan pembatik sekaligus pemilik Sanggar Batik Sekar Bakung, Sri Sukartini Gatot, mengatakan pihaknya sangat antusias memakai pewarna alam. Setelah dilatih intensif, dia dan rekan-rekan sesama perajin mengetahui lebih banyak tentang pewarna alam.
"Saya sebelumnya sudah biasa memproduksi batik dengan pewarna alam. Hanya saja selama ini yang saya pakai bahannya masih terbatas, sehingga warna yang dihasilkan kurang beragam. Setelah diajari Bang Merdi, saya jadi tahu ternyata warna alam pun sangat banyak. Bahkan bisa didapatkan dari daun-daun yang jatuh di sekitar kita," ujar Sri.
Sri adalah mantan pegawai Dinas Kesehatan (Dinkes). Setelah pensiun tiga tahun lalu, Sri menekuni dunia batik dengan mengikuti pelatihan-pelatihan yang digelar Pemkab Banyuwangi.
Kini, Sri menjadi pengusaha batik yang bisa dibilang sukses. Dalam sebulan, dia bisa memproduksi lima batik tulis dengan pewarna alam. Harga jualnya juga cukup lumayan, antara Rp 1 hingga 2 juta rupiah per kain.
"Dari pelatihan-pelatihan terdahulu, selama ini saya hanya tahu pewarna alam dari kulit manggis, daun mangga, mahoni, dan jelawe. Dari pelatihan ini (Mardi Sihombing) pengetahuan saya bertambah. Saya akhirnya juga tahu kalau putri malu, krangkong, daun ketapang dan daun jati yang jatuh bisa untuk pewarna alam. Dan ini sangat menguntungkan, karena bahannya ada di sekitar rumah saya," papar Sri.
Senada, Erni Priyatin dari Batik Trisno, Kecamatan Cluring, juga mengaku senang mendapat tambahan ilmu dari Mardi Sihombing. Setelah mengikuti pelatihan, dirinya lebih bersemangat lagi mengembangkan batik berpewarna alam.
"Apalagi rumput liar ternyata bisa dipakai, juga daun-daun bergetah. Saya berniat mengembangkan pewarna alam saja, karena ramah lingkungan," ucap Erni.
Di pelatihan ini, para pelaku industri batik di Banyuwangi juga dilatih mengelola pewarna alam untuk semua jenis kain, mulai dari kain alat tenun bukan mesin, sutra, katun sutra, kain primisima, hingga kain sari.
"Selain itu, kami juga diajari membuat motif dari alam sekitar, untuk memperkaya motif batik Banyuwangi," ujar Erni diamini Sri.