“Karena kerusakan darah lebih cepat dan masif, maka kandugan zat besi menumpuk sehingga mengganggu fungsi organ lain," ujar dr. Sri Redjeki.
Merdeka.com, Banyuwangi - Finza Eka Laura, bocah perempuan 9 tahun asal Banyuwangi, Jawa Timur, harus menjalani cuci darah seumur hidup. Putri pertama pasangan Eko Cahyono (34) dan Sri Utami (26) warga Dusun Pondokasem, Desa Kedungsari, Kecamatan Tegaldlimo ini menderita kelainan genetik, Thalasemia.
Thalasemia merupakan penyakit bawaan lahir. Kelainan penyakit ini ditandai kondisi sel darah merah yang mudah rusak, yaitu tiga hingga empat kali lebih cepat dibanding sel darah merah normal. Jika sel darah merah normal bertahan hingga 120 hari, maka sel darah merah penderita Thalasemia hanya bertahan 23 hari.
Menurut Sri Redjeki, dokter spesialis anak RSUD Blambangan yang menangani Finza menjelaskan, si penderita akan mengalami anemia, kemudian darah yang rusak tertimbun dalam limpa, sehingga menyebabkan perut buncit.
“Karena kerusakan darah lebih cepat dan masif, maka kandungan zat besi menumpuk sehingga mengganggu fungsi organ lain. Pasien penderita Thalasemia ini diwajibkan cuci darah seumur hidupnya. Karena sel darah merahnya mengalami kerusakan lebih cepat dari darah merah normal,” terang Sri ditemui usai menangani Finza.
Dia mengatakan, pihaknya sudah menangani 15 pasien dengan kondisi yang sama. Dan Finza adalah pasien baru yang dibawa ke RSUD Blambangan. Padahal sudah divonis Thalasemia sejak enam tahun silam. “Dia baru dibawa oleh Puskesmas ke sini. Kemudian langsung kita tangani,” ucapnya.
Sri juga menjelaskan, Thalasemia merupakan penyakit bawaan kedua orangtua. “Ada bawaan dari ayahnya dan ibunya. Ini penyakit genetis, tapi tidak semua anaknya menderita penyakit ini. Biasanya Cuma dialami salah satu anaknya saja,” tutur Sri.
Sementara Kepala Puskesmas Kedungwungu, Kecamatan Tegaldlimo, Budi Kasiyono yang menangani Finza mengatakan, yang bersangkutan sebelumnya berobat di klinik. “Dia berobat sudah sejak umur empat tahun di klinik. Saat diketahui Thalasemia, dia dibawa ke Puskesmas dan dirujuk ke RSUD Blambangan. Kita sendiri yang mengantarkan,” terang Budi saat mengantar Finza ke RSUD Blambangan.
Budi juga menjelaskan, orangtua pasien merupakan warga Banyuwangi yang merantau ke Kalimantan. Kemudian kembali ke daerah asalnya. Sayangnya, belum memiliki kartu keluarga (KK) Banyuwangi. Sehingga tidak memiliki kartu BPJS.
“Kita dan kepala desa juga membantu dalam pengurusan BPJS-nya. Mereka ini kan pernah merantau ke luar Jawa. Jadi belum memiliki KK. Karena khawatir dengan pembiayaan yang mahal, mereka membawa anaknya berobat ke klinik. Lalu dibawa ke Puskesmas dan dirujuk ke RSUD Blambangan,” papar Budi.
Di tempat sama, Sri Utama, ibu kandung pasien mengatakan, perut putrinya mulai mengalami perubahan sejak berusia tiga tahun. Nafsu makan Finza menurun drastis dan badannya makin kurusn tapi bagian perut membesar. Tangan dan kaki juga terlihat mengecil.
"Anak saya gak bisa main sama teman-temannya, cuma di kasur saja. Buat jalan saja susah, jadi ya saya gendong," ungkap Sri Utami dengan raut muka sedih.
Dia juga mengaku, pernah memeriksakan putri ke dokter dan disarankan untuk pengobatan lebih intensif serta dirujuk ke Surabaya. Namun karena keterbatasan ekonomi, mereka memilih pengobatan tradisional. "Penghasilan kami cuma cukup untuk kebutuhan sehari-hari, gak mampu berobat ke Surabaya," kata Sri Utami.
Masih di tempat sama, istri Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani Azwar Anas dan Wabup Yusuf Widiatmoko yang mendengar informasi ini, secara bergantian menjenguk Finza di RSUD Blambangan. Yusuf datang lebih dulu dan menemui keluarga pasien. Kemudian rombongan istri bupati datang menjenguk. Keduanya memberi motivasi kepada keluarga pasien.
“Ini harus segera diatasi. Terjadi pembengkaan pada liver dan limpanya. Yang bersangkutan harus segera cuci darah. Karena keluarganya tidak mampu, bapaknya nelayan musiman. Pemerintah akan bantu, yang penting ditangani dulu biar prosedurnya jalan dulu, nanti sambil jalan semuanya diurus,” kata Yusuf usai menjenguk Finza.