Di kafe ini, pemiliknya memberdayakan anak-anak yang putus sekolah.
Merdeka.com, Banyuwangi - Satu lagi tempat nongkrong asyik dan bisa menambah wawasan untuk mengenal arsitektur rumah suku using di Kabupaten Banyuwangi. Dawis (56), warga Kelurahan Banjarsari, Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi berinisiatif mendirikan sebuah kafe "Ijen Isun" yang menyajikan suasana Desa Banyuwangi di era 1980-an.
Tidak jauh dari rumahnya, di Jalan Ijen, Dawis membangun homestay dan kafe di lahan seluas satu hektare. Ada tiga homestay dengan ciri khas arsitektur Using, lengkap dengan furniture dan fasilitas kuno.
Ketika masuk di Ijen Isun, pengunjung akan disajikan suasana pedesaan yang rimbun dengan aneka tanaman buah. Kemudian ada deru suara kiling (kincir angin raksasa) yang menjadi ciri masyarakat agraris Banyuwangi. Saat di dalam, ada ruang pertemuan tradisional khas Using, semacam pendopo yang dikemas menjadi tempat nongkrong. Dawis memoles tempat nongkrongnya ini dengan konsep tradisional secara keseluruhan.
Seperti Menu kopi serta masakan yang disajikan masih menggunakan tungku dan kayu bakar. Dia juga masih menggunakan dandang berbahan logam untuk memasak air.
"Kembali tradisional seperti yang saya rasakan terakhir di era 1980-an. Akhir tahun 90-an sudah mulai hilang, saya coba menyajikannya kembali," ujar Dawis kepada Merdeka Banyuwangi beberapa waktu lalu.
Dia menjelaskan, permainan kiling menjadi simbol masyarakat Using sebagai pangiling-iling (pengingat) kepada Tuhan dan tanah kelahiran. Setiap keluar dari rumah, akan tetap ingat dengan asal usulnya. Kemudian model tata letak tiga rumah Using yang kembali dia sajikan yakni tata letaknya berdekatan antar rumah satu dengan lainnya.
"Orang Using rumahnya, saling berdekatan antar keluarga sendiri. Sini rumah orangtua, sebelah rumah anak-anaknya. Tapi dapur hanya ada satu, karena makannya kumpul. Hingga ada istilah 'mangan ora mangan kumpul'," jelas Dawis. Dari tiga rumah Using yang disajikan, juga tersedia lumbung padi sebagai tempat penyimpanan padi hasil panen.
Selain itu, Dawis juga menunjukkan di bagian dalam rumah using, terdapat furniture khas kuno. Seperti dipan tempat tidur yang didesain memiliki ruang penyimpanan harta. Kemudian pada bagian pintunya, ada dobel kunci menggunakan kayu.
"Ada kayu untuk mengunci dari dalam, selain buat pengamanan, buat mukul kalau ada orang tidak bener. Kalau dipan, ada ruang penyimpanan, jadi hartanya selalu di bawah tempat tidurnya," lanjutnya sambil membuka ruang penyimpanannya.
Meski fasilitas kafe yang disajikan Dawis cukup mewah dengan sajian penginapan dan edukasi tentang budaya masyarakat Using, dia tidak ingin menyajikan menu khas dengan harga mahal. Sebaliknya, dia membuat slogan "fasilitas bintang lima, tapi harga kaki lima".
"Saya bikin ini untuk pemberdayaan, bukan semata-mata bisnis. Saya jual kopi secangkir Rp 5 ribu, nasi goreng Rp 10 ribu, termasuk kuliner khasnya saya jual terjangkau. Fasilitas bintang lima harga kaki lima. Panggonan gedong, rego pinggir jalan," ujarnya.
Dari situ, Dawis memperdayakan 13 pemuda sekitar yang bekerja di kafenya. Rata-rata lulus SD, SMA dan putus sekolah. "13 pemuda yang dulu enggak kerja sekarang kerja. Mulai lulusan SD, SMA, yang enggak lulus, ada juga yang masih kuliah sambil kerja di sini," ujarnya.