Peristiwa ini menjadi cikal bakal hari jadi Kabupaten Banyuwangi.
Merdeka.com, Banyuwangi - Masyarakat Desa Bayu, Kecamatan Songgon, Banyuwangi, memiliki kesadaran sejarah untuk mengenang masa perjuangan masyarakat Belambangan saat melakukan perang melawan Kolonial Belanda. Kesadaran sejarah tersebut terwujud dalam bentuk pembangunan penanda patung Pangeran Repeg Jagapati, atau yang umum disebut Mas Rempek, pempimpin perjuangan perang Puputan Bayu.
Ketua Peduli Sejarah Puputan Bayu, Harmadi (49) mengatakan peristiwa tersebut menjadi cikal bakal ditetapkannya hari jadi Banyuwangi pada 18 Desember. Sesuai penanggalan puncak kejayaan masyarakat Belambangan dalam perang Puputan Bayu pada 18 Desember 1771.
"Di banyuwangi pernah ada kejayaan ya di sini ini (di Desa Bayu) pada 18 Desember 1771, itu hari kejayaannya. Makanya hari jadi Banyuwangi kan itu. Ini kan perang saudara, antara pemimpin yang pro Belanda dan pro rakyat," jelas Harmadi kepada Merdeka Banyuwangi beberapa waktu lalu.
Menurut Harmadi, sejarah singkat bermula saat kekuasaan Kerajaan Belambangan terpecah menjadi dualisme kekuasaan. Antara pimpinan Pangeran Jaksanegara, putra mahkota yang pro Belanda di Lateng, Rogojampi dan pimpinan Pangeran Jagapatih atau Mas Rempek di Bayu, yang pro rakyat.
"Akhirnya kepercayaan masyarakat Belambangan mulai berkurang. Banyak yang pindah ke sini (bergabung dengan Mas Rempek). Akhirnya pecah jadi dua. Sampai terjadi perang Puputan Bayu, perang habis-habisan," ujarnya.
Usai serangan umum sampai mendapat puncak kejayaan pada 18 Desember 1771 hingga membuat Kolonial Belanda rugi besar. Wilayah Bayu kembali diserang. Kali ini rakyat Belambangan yang dipimpin Mas Rempek kalah dan banyak memakan korban.
"Karena Belanda mendatangkan tentara dari Semarang, Bali dan wilayah lain untuk membobardir sini," jelasnya. Akibatnya kemelut peperangan tak berkesudahan ini berujung pada kekosongan kekuasaan. "Terus ada kekosongan kekuasaan, diambil lah Mas Alit yang waktu itu ada di Madura," katanya. Mas Alit, merupakan Bupati pertama Banyuwangi yang memimpin pada 1773.
"Karena perang ini gak selesai-selesai, dualisme kekuasaan ini maka dipanggillah Mas Alit untuk meredam. Mas Alit waktu itu memang mengungsi karena keadaannya tidak kondusif," ujar pria yang juga Ketua PHBM ini.
Pembangunan patung Mas Rempek atau monumen perang Puputan Bayu sendiri baru dilakukan pada tahun 2003. Namun peringatan hari jadi Banyuwangi sudah dilaksanakan sejak 1995."Jadi waktu 50 tahun Indonesia merdeka. Tahun 1995 mulai ada hari jadi perdana Banyuwangi," ujarnya.
Masyarakat Belambangan yang dikenal memiliki jiwa pemberontakan melawan dominasi kekuasaan Kolonial Belanda, sempat berpindah-pindah pusat kekuasaan. Bermula di Bayu, Macan Putih, Ulu Pampang Muncar, Rogojampi Lateng dan terakhir kembali lagi ke Bayu.
Saat ini siapapun yang datang bisa menyaksikan monumen yang diberi nama Tetenger Perang Puputan Bayu. Lokasinya ada di pinggir jalan Desa Bayu. Patung Mas Rempek masih terlihat gagah memegang pusaka. Terlihat juga ada patung macan putih sebagai tunggangannya dan relief perjuangan. Mengingatkan kepada siapapun yang lewat tentang perjuangan rakyat Belambangan.