Santri putri memasak makanan mereka sendiri, begitu juga santri putra yang tak kalah ahli dalam menyiapkan hidangan.
Merdeka.com, Banyuwangi - Di tengah berkembangnya pesantren-pesantren besar dengan membangun laboratorium komputer dan bahasa, Pesantren Nurul Anwar di Dusun Gadog, Desa Tamansuruh, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, berusaha bertahan dengan berbagai keterbatasannya.
Pesantren ini memiliki 5 gutekan atau gubuk panggung dengan ukuran 2 X 2,5 meter yang menjadi tempat tinggal 8 orang santri putra. Sementara itu 5 orang santri putri tinggal di rumah sang pengasuh, Ustadz Mustain, di bagian belakang, dekat aula yang biasa menjadi tempat santri mengaji.
Santri putri memasak makanan mereka sendiri, begitu juga santri putra yang tak kalah ahli dalam menyiapkan hidangan. Jadwal memasak sudah ditentukan, sayur dengan kuah santan tanpa lauk adalah hidangan yang paling sering mereka nikmati.
Dua orang santri nampak sedang mengupas 3 butir kluwih di depan salah satu gutekan, yang lagi-lagi akan mereka masak dengan kuah santan, Jumat (25/5). Sampah kulit kluwih mereka kumpulkan agar mudah dibersihkan. Kluwih yang telah terkupas berwarna putih dimasukkan ke wadah, untuk dipotong-potong dadu dan dimasak.
“Hari ini jadwalnya saya memasak. Satu orang santri jatah berasnya 1 gelas plastik Ale-ale. Karena santri putra jumlahnya 8 orang, jadi setiap masak berasnya 8 gelas plastik itu,” kata santri bernama Asnai (16) yang tengah mengolah kluwih bersama kawannya Dion Hardiono (13).
Asnai mengaku tahu bumbu memasak setelah diajari istri Ustadz Mustain yang bernama Umi Bariroh.
Remaja yang telah 3 tahun nyantri itu lulus Madrasah Tsanawiyah (Mts) tahun lalu dan mengaku tidak tertarik melanjutkan sekolah. Namun dia tetap ingin melanjutkan pendidikan agamanya di pesantren itu. "Dulu awalnya ngaji di pesantren disuruh orang tua, sekarang sudah betah," katanya.
Kepada Merdeka Banyuwangi, Ustadz Mustain mengatakan awalnya dia hanya menerima anak-anak sekitar yang mengaji padanya. Namun mulai tahun 2011, banyak orang tua dari luar desa memondokkan anak padanya. Maka dia membangun glutekan karena belum mampu membangun asrama untuk para santri.
“Bangun glutekan ya dari kayu-kayu di hutan, kayu kelapa. Aslinya nggak sengaja membangun pesantren. Tapi anak-anak yang mau nyantri sudah datang ya dibuatkan seadanya,” katanya.
Menurutnya pengenalan gaya hidup sederhana juga perlu untuk para santri agar terlatih mengendalikan diri. Jam 9 malam semua kegiatan wajib pesantren sudah usai, sehingga santri bisa kembali ke gutekan untuk beristirahat.
"Sebenarnya ingin buatkan asrama sendiri. Tapi walau dinding kayu mereka tetap nyenyak, buktinya sulit sekali membangunkan untuk salat Subuh," candanya sembari tertawa.
Kegiatan para santri di bulan Ramadan ini tidak banyak beda dengan bulan-bulan biasa yang memakan waktu 6 jam per hari. Hanya saja kitab yang dipelajari di bulan suci umat Islam ini berbeda, yakni kitab Durrotun Nasihin untuk santri dan warga setelah tarawih, Tafsir Jalalain setelah subuh dan Alfiyah Ibnu Akil. Kegiatan juga berupa hafalan surat-surat pendek dan salat dhuha yang dilakukan pukul 6 pagi.
"Pesantren ini berusaha menampung anak-anak yang tidak mampu membayar biaya di pesantren besar. Kalau kita sudah tidur menutup mata kan sama saja rasanya antara di kasur dan (di atas papan kayu) di gutekan," kata Ustadz Mustain.