"Sri mulyani, kita ketinggalan 45 tahun dalam hal membaca, saya tersentuh," ujar Wijaya.
Merdeka.com, Banyuwangi - Prasetya Wijaya, warga Desa Kedungrejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi, sejak sebulan terakhir rutin keliling membawa buku dengan sepeda ontel rakitan.
Diusianya yang sudah 58 tahun, Wijaya memutuskan untuk mengkampanyekan budaya membaca setelah terinspirasi ucapan dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani.
"Sri mulyani, kita ketinggalan 45 tahun dalam hal membaca, saya tersentuh," ujar Wijaya saat gowes literasi di Pantai Bangsring Underwater, Rabu (4/4).
Ungkapan Sri Mulyani tersebut, disampaikan saat pertemuan tahunan dana moneter IMF dan Bank Dunia di Wangshington DC, Amerika Serikat pada Oktober 2017 lalu.
Sri Mulyani menyampaikan, Indonesia bila ingin tingkat membacanya setara dengan negara-negara maju, harus menghabiskan 45 tahun. Data tersebut berdasarkan penelitian World Dovelopment Report. Sementara untuk setara dibidang sains tertinggal jauh hingga 75 tahun.
"Saya membaca pernyataan Sri Mulyani tersebut sudah sebulan yang lalu. Saya baca di media online nasional," kata dia.
Wijaya kemudian mengambil peran. Sepeda ontel hasil rakitannya diisi sekitar 65 buku berbagai judul. Ada novel, karya ilmiah maupun jurnal. Tidak lupa, dia juga membawa buku catatan untuk melengkapi kisah pribadi yang rutin dia tulis.
"Saya sendiri, per jam juga menulis, di buku catatan harian. Apa yang saya lihat, dengar, karena saya ingin produktif. Itu saya lakukan sejak usia 34 tahun. Sekarang ada 15 lebih koleksi buku catatan," ujarnya.
Saat gowes, Wijaya sering berhenti di tempat keramaian seperti alun-alun kota Banyuwangi, dan acara festival yang sedang berlangsung. Dia menggelar bukunya di tempat keramaian, seperti perpustakaan keliling.
"Bukanya kadang di Taman Blambangan tiap Minggu, ini sudah tiga kali. Setiap ada yang mampir saya bilang, ayo membaca. Kalau ke orang tua, saya sarankan agar mengajak anaknya suka membaca," jelasnya.
Bila tidak ada yang mampir, dia coba membuat atraksi bermain tongkat double stick seperti tokoh Bruce Lee. Bila ada anak-anak yang tertarik mendekat, dia berhenti, dan menyuruh membaca bukunya.
"Hanya strategi memikat saja, meski sebenarnya saya tidak bisa kungfu," kata bapak tiga anak ini.
Saat menggelar bukunya, Wijaya juga memasang tulisan 'Buku tidak dijual'. "Karena saya pernah diusir, dikira jualan. Biar tidak diremehkan, karena tidak semua ujung ujungnya uang," ujarnya.
Pendidikan Wijaya terakhir sampai lulus SMA, namun dia sudah hobi membaca sejak remaja. Dia mengaku, koleksi buku di rumahnya saat ini sudah ada sekitar 500.
"Saya ingat buku pertama yang saya beli, milik Pramodya Ananta Tour, judulnya Bumi Manusia tahun 1980-an, saat itu bukunya masih dilarang beredar," kenang pria yang pernah bekerja di pertambangan di Banjarmasin selama 45 tahun ini.
Di usianya yang sudah tidak muda ini, Wijaya memang ingin berkontribusi sebisanya agar budaya literasi Indonesia bisa setara dengan negara maju. Minimal, katanya, bisa menginspirasi anak-anaknya untuk suka baca dan tulis.
"Saya hanya ingin anak-anak saya mengikuti kebiasaan saya saja. Gowes literasi ini akan saya teruskan, tidak akan berhenti," katanya.