"Penulis harus menyukai kata. Kalau terus membaca, lama-lama kita mengakrabi kata, akan lancar menulis dengan sendirinya," kata Fira.
Merdeka.com, Banyuwangi - Peserta Festival Writer Indonesia (FWI) 2018 yang digelar di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur mendapatkan presentasi dari 2 penulis perempuan terkenal. Najwa Shihab membagikan pengalamannya di dunia jurnalistik dan membangun media digital, sedangkan Fira Basuki memberikan motivasi kepenulisan novel fiksi.
Fira Basuki yang juga aktif di dunia pewartaan telah menulis 33 judul novel fiksi, dan 3 di antaranya menjadi sebuah trilogi Jendela - Pintu - Atap. Dia menyampaikan beberapa cara sederhana agar bisa menciptakan karya kepada sekitar 150 penulis muda yang menjadi peserta acara yang digelar di sebuah resort di lereng Gunung Ijen itu.
Dia menjelaskan untuk mengumpulkan kepercayaan diri, penulis muda bisa meminta kawan membaca karyanya dan memberikan kritik serta saran. Untuk yang belum terbiasa menulis, Fira mendorong mereka untuk berlatih dengan komitmen menyediakan waktu setiap hari untuk menulis barang sebentar.
"Penulis harus menyukai kata. Kalau terus membaca, lama-lama kita mengakrabi kata, akan lancar menulis dengan sendirinya," kata Fira, Jumat (21/9).
Masalah ide cerita, dia menyarankan penulis pemula banyak membaca, nonton film, berkeliling, mencari wawasan baru dan memperhatikan hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari. Menambahkan elemen imajinasi ke dalam cerita dikatakannya juga bagus untuk dilakukan.
"Pengalaman hidup bisa untuk karya pertama. Tapi sampai kapan pengalaman diri sendiri bisa meneruskan nafas kelanjutan menulis? Jadi tetap harus sering keliling, nonton, cari wawasan baru," imbuh Fira.
Saat menulis novel, penulis pemula bisa merancang bagan dan mengatur alur cerita pembuka, isi, dan penutup. Tapi di zaman modern ini dengan berbagai aplikasi pengetikan naskah, penulis bisa mengerjakan bagian penutup atau bagian lain dahulu yang disukai dan memotivasi penulis.
Novelis yang pernah menangis dan berniat berhenti menulis karena mendapatkan kritik pedas atas karyanya itu juga mengajak peserta FWI menguatkan mental. Pasalnya masing-masing pembaca memiliki ekspektasi sendiri-sendiri atas setiap karya sastra.
"Kamu bisa masak, tapi ada orang suka gado-gado membeli pizza. Walaupun itu pizza terenak di Dunia, dia tidak akan suka. Karena yang ada di bayangannya sambal kacang dengan banyak kecap, tidak sesuai dengan pizza yang dihidangkan," tutur Fira.
Sementara Najwa berbagi wawasannya mengenai konten media TV maupun digital. Dia mengatakan kompetisi antar media TV sangat tinggi, berbeda dengan media digital yang justru lebih mudah untuk saling berkolaborasi. Dia mengatakan media dan jurnalis harus mau berubah mengikuti zaman agar tetap relevan dengan kondisi terbaru.
Selain itu dia membagikan rahasia dibalik pertanyaan-pertanyaannya yang tajam di acara talk show Mata Najwa. Riset yang mendalam merupakan keharusan sebelum dia mewawancarai narasumber. Bahkan untuk mengajukan 1 pertanyaan, hendaknya jurnalis membaca 3 bahan yang relevan sebagai dasar bertanya.
"Bahannya harus 3 kali lebih banyak daripada hasil yang ingin dihasilkan. Dan dengan teknologi sekarang melakukan riset data menjadi semakin mudah," kata Nana, sapaannya.
Dia mendorong penulis-penulis muda untuk rajin membaca. Selain untuk riset data, membaca juga bisa menjadi cara melatih otak untuk merangkai hubungan satu fakta dengan fakta lain. Dengan itu seseorang bisa menemukan sebuah keterangan berpotensi bohong atau benar.
"Kunci konten yang bagus, entah itu konten TV atau berita tulis, harus berdasarkan riset yang mendalam. Cara paling gampang bisa dilakukan dengan membaca," katanya.