Sejumlah nelayan mulai mengawali menanam (tranplantasi) terumbu karang sejak tahun 2003.
Merdeka.com, Banyuwangi - Di balik keindahan pesona bawah laut Pantai Grand Watu Dodol di Dusun Paras Putih, Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi. Ada sebuah kisah perjuangan nelayan mengembalikan surga terumbu karang yang sempat rusak.
Mustofa, sejak tahun 1996 sudah menyaksikan bagaimana sebagian besar nelayan pantai Watu Dodol mencari ikan hias dan konsumsi menggunakan peledak. "Kalau ikan hias masyarakat sini dulu pakai potasium. Kalau ikan konsumsi kebanyakan pakai bom ikan," kata Mustofa (43) kepada Merdeka Banyuwangi, Minggu (28/9).
Cara instan mencari ikan tersebut, ternyata membawa dampak berkelanjutan. Terumbu karang rusak, ikan pun semakin sepi. Beberapa peralatan tangkap seperti kompresor untuk menyelam akhirnya digunakan untuk menyisir ikan di kedalaman. "Kalau saya pakai alat tangkap tembak, sejenis panah dari dulu. Tidak pakai potasium," ujar Mustofa.
Puluhan tahun menjadi nelayan, membuat Mustofa memahami betul jenis ikan yang sempat melimpah dan tiba-tiba hilang. Baik ikan hiasnya atau jenis konsumsi.
"Jenis ikan yang nyaris hilang seperti muris, kepe roti, blustoon, dakoca, layaran kuning dan yang sempat hilang ikan keling merah, polimas sama klompis (ikan badut)," ujarnya sambil mengingat-ingat.
Tapi semua ikan-ikan tersebut sudah kembali lagi ke Pantai GWD berkat perjuangan nelayan dan kekompakannya. Mulai tahun 2003, beberapa nelayan mulai mengawali menanam (tranplantasi) terumbu karang.
Kemudian pada November 2015, nelayan melakukan swadaya untuk membuat rumah apung. Serta menetapkan kawasan konservasi seluas 3 kilometer kali 100 meter. Baru delapan bulanan terakhir, para nelayan sepakat membuat kelompok Pokmaswas Pesona Bahari.
"Kalau kita ingin menghentikan sesuatu, ini diperlukan wadah dulu. Nanti dengan sendirinya akan berubah, soalnya warga itu kalau tidak ada bukti tidak percaya. Ini perjuangannya 6 tahunan. Cuma baru dibentuk 8 bulanan biar ada legalitas," ujar Abdul Azis (42) koordinator pantai GWD sekaligus Ketua Pokmaswas Pesona Bahari.
Mustofa dan Azis, merupakan dua orang yang sama-sama dibesarkan di pesisir Watu Dodol. Saat ini, keduanya meyakini ketika mau merawat alam, maka alam akan memberi lebih. "Dulu banyak pengangguran, sekarang tidak ada. Kerja semua, ada yang mandu pengunjung, setir perahu, buka penyewaan snorkeling. Artinya kalau karang ini dilestarikan nelayan akan dapat penghasilan dari tamu," jelas Azis.
Saat ini, kata Azis pendapatan rata-rata nelayan bisa mencapai Rp 150 ribu per hari. "Kalau yang nelayan, dulu belum tentu dan resikonya tinggi karena pakai kompresor. Ada yang lumpuh, kram, banyak yang meninggal juga," ujarnya.
Di Dusun Parasputih, Desa Bangsring sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai nelayan. Azis masih ingat, sempat ada istilah jadi desa perempuan. Itu disebabkan banyak para nelayan yang mencari ikan hias dan konsumsi hingga ke Samarinda dan Irian Jaya (Papua).
"18 tahun lalu desa ini banyak perempuan, tidak ada laki-laki. Para laki-lki banyak yang sampai ke Samarinda, papua lalu pulang ada yang meninggal, kram, lumpuh karena carinya pakai kompresor," kata Mustofa.