Rtual dilanjutkan tabur bunga ke Makam Sayid Yusuf yang ada di semenanjung pantai.
Merdeka.com, Banyuwangi - Siang itu, puluhan kapal tampak berjajar di tengah samudra dengan ragam asesoris menawan yang memanjakan setiap pasang mata. Aneka motif dan warna berpadu di sana. Barisan puluhan kapal yang berangkat dari Pelabuhan Muncar itu tengah melakoni tradisi sedekah laut, yang biasa dikenal dengan Petik Laut Muncar.
Minggu (16/10) pagi, masyarakat pesisir Muncar terlihat antusias mengikuti ritual Petik Laut tersebut. Ritual sedekah laut ini ditandai kirap sesaji dan diakhiri dengan pelarungan sesaji ke tengah samudera.
Menurut ketua penyelenggara Petik Laut Muncar, HM Hasan Basri, tradisi ini rutin digelar nelayan pesisir Muncar sejak tahun 1901 silam. Tepatnya setiap tanggal 15 Syuro penanggalan Jawa, atau 15 Muharam penanggalan Qamariah bertepatan dengan pasang air laut.
“Ini sebagai ungkapan rasa syukur para nelayan atas hasil tangkapan ikan yang melimpah. Sekaligus ritual tolak bala’memohon keselamatan agar terhindar dari bahaya saat berlayar mengarungi lautan. Makanya, tak sekalipun kami melewatkan tradisi ini karena takut mengalami musibah,” kata dia.
Sehari sebelumnya, masyarakat setempat melakukan sejumlah ritual. Mulai mengarak sesaji keliling kampung (ider bumi) hingga tirakatan dengan menggelar pengajian/semaan di sejumlah surau dan rumah warga.
Tradisi ini diawali dengan mengarak sesaji dari rumah sesepuh menuju TPI untuk dilarung ke tengah segara. Sesaji yang terdiri dari kepala kambing, berbagai macam kue, buah- buahan, pancing emas, candu dan dua ekor ayam jantan yang masih hidup ini ditata apik dalam sebuah replika perahu nelayan. Perahu kecil ini berukuran lima meter dengan warna serta ornamen umbul-umbul, persis perahu yang digunakan nelayan saat melaut, inilah yang disebut Gitik.
Setibanya di TPI, sesaji langsung disambut enam penari gandrung yang kemudian membawa sesaji tersebut ke atas kapal. Saat ini lah, warga berebut naik kapal pengangkut sesaji karena meyakini bisa mendapatkan berkah. Selain juga untuk ber-wefie ria dengan latar belakang view cantik rangkaian sesaji dan hamparan birunya laut.
Kapal yang membawa sesaji itu kemudian mulai bergerak ke tengah samudera bersama iring-iringan puluhan kapal lainnya. Kapal beraneka motif dan warna berpadu di sana. Simbol nilai seni yang tiada tara, wujud estetika kelokalan yang tiada duanya.
Bunyi mesin diesel menderu membelah ombak Samudera Indonesia. Suara gemuruh sound-system juga menggema di setiap armada. Lambaian umbul-umbul yang tersapu angin menambah suasana semarak di tengah samudra, namun tetap sakral.
Selanjutnya, iring-iringan berhenti di sebuah lokasi berair tenang, dekat semenanjung Sembulungan. Di kawasan yang sering disebut Plawangan inilah ritual inti dilakukan. Dimana sesaji dilarung ke laut dibawah pimpinan seorang sesepuh nelayan.
Teriakan syukur sontak menggema saat sesaji jatuh dan tenggelam ditelan ombak. Para nelayan bergegas menceburkan diri ke laut berebut mendapatkan sesaji. Sesekali mereka juga terlihat menyiramkan air yang dilewati sesaji ke seluruh badan perahu.
"Kami percaya air ini menjadi pembersih malapetaka dan diberkati ketika melaut nanti," kata Asnawi, salah satu nelayan yang mengikuti rangkaian ritual itu.
Dari Plawangan, arak-arakan perahu bergerak menuju Sembulungan, sebuah semenanjung kecil di tengah perairan laut Muncar. Di tempat ini, nelayan kembali melarung sesaji untuk ke dua kalinya. Hanya saja jumlah sesajinya lebih sedikit. Konon, ini memberikan persembahan bagi penunggu tanjung Sembulungan.
Usai melarung sesaji di Sembulungan, ritual dilanjutkan tabur bunga ke Makam Sayid Yusuf yang ada di semenanjung itu, kemudian diakhiri dengan selamatan dan doa bersama. Sayid Yusuf adalah orang pertama yang membuka lokasi Tanjung Sembulungan.
Selain di Muncar, sejumlah nelayan juga menggelar ritual sedekah laut pada Bulan Muharam ini. Seperti nelayan pantai Grajagan Kecamatan Purwoharjo, Pancer Kecamatan pesanggaran, dan Pantai Bulusan Kecamatan Kalipuro.
"Namun yang terbesar ada di Muncar, karena Pelabuhan Muncar merupakan pelabuhan terbesar yang ada di Banywuangi," ujar Hasan basri.
Wakil Bupati Banyuwangi Yusuf Widyatmoko saat menghadiri pesta rakyat ini mengatakan, pemkab konsisten mengangkat kearifan budaya lokal yang telah ada di tengah masyarakat. Salah satunya, dengan mengemas tradisi tersebut menjadi bagian dalam agenda wisata tahunan Banyuwangi Festival.
“Ini bentuk intervensi pemda untuk mengenalkan budaya asli Banyuwangi kepada masyarakat global. Dengan membranding tradisi ini dalam kemasan festival, kita berharap tradisi ini akan terus hidup dan menjadi daya tarik yang mampu mengerek kunjungan wisatawan,” ujar WabupYusuf.
Selain itu, dalam kesempatan tersebut Wabup juga mengajak masyarakat Muncar untuk menjaga kebersihan dan keamanan lingkungan. "Kami berharap masyarakat di sini selalu menjaga kebersihan pantai dan laut agar ikannya semakin berlimpah. Sehingga kesejahteraan warga juga semakin meningkat," kata Wabup Yusuf sesaat sebelum memasang pancing emas di atas Gitik.
Tak hanya nelayan, ribuan warga pun larut dalam euforia dan kesakralan ritual ini. Tak sekedar menyaksikan prosesi larung sesaji, mereka juga datang untuk menikmati beragam hiburan yang ada di sana. Seperti pentas seni dan pasar malam yang menjual beragam produk, mulai fashion, kuliner, hingga olahan hasil laut.
Sutipah (41) salah satunya, warga asli Muncar yang telah menetap di Manokwari, Papua selama 31 tahun ini mengaku sangat senang akhirnya bisa menyaksikan langsung tradisi tanah kelahirannya ini.
"Baru kali ini saya pulang ke Banyuwangi setelah sekian lama merantau. Senang sekali, pas mudik bertepatan ada perayaan petik laut. Jadi bisa menjenguk saudara sekaligus nonton. Biar anak saya juga ngerti tradisi petik laut, ” kata ibu yang datang bersama putrinya ini.
Supinah juga mengaku agar bisa menyaksikan pesta nelayan ini, dia dan keluarga sengaja menunda kepulangannya ke Manokwari. “Rencananya pulang minggu kemarin, tapi kami tunda hingga usai petik laut,” katanya.