1. BANYUWANGI
  2. INFO BANYUWANGI

Seblang Bakungan, tarian sunyi dan magis bersama leluhur di Banyuwangi

Tari Seblang Bakungan sebagai wujud syukur kepada Tuhan sekaligus memohon agar masyarakat selalu diberi ketentraman.

Roslan (91), pawang Seblang Bakungan. ©2018 Merdeka.com Reporter : Mohammad Ulil Albab | Senin, 27 Agustus 2018 15:13

Merdeka.com, Banyuwangi - Supani, seorang perempuan tua berusia 68 tahun yang menjadi penari Seblang, berjalan keliling desa di malam hari sambil membawa dua bilah keris dengan keadaan kerasukan roh leluhur, Minggu (26/8).

Selama menari, Supani tidak mengucap apapun, dia hanya terus menari semalam suntuk dengan iringan 13 gending. Sebagai penguat cerita sesuai masing-masing gending, diiringi dengan tarian simbolik.

Selain membawa keris sebagai simbol mengusir hama penyakit yang merusak pertanian, Supani menari diiringi bajak sawah, ada juga dengan menimang boneka anak sebagai wujud keharmonisan rumah tangga.

Beberapa gending yang mengiringi antara lain berjudul Podo Nonton, Dodol Kembang, Kodok Ngorek, Seblang Lukinto, Nglamar Nglimir, Yugo-yugo, Surung Dayung, Mancing-mancing, Nandur Kiling, Celeng Mogok, Dansa Dosro dan terakhir Ireng-ireng.

Tradisi Seblang Bakungan di Kelurahan Bakungan, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi ini rutin digelar setiap tahun sejak 1639, tepatnya setelah lebaran Idul Adha.

Tari Seblang Bakungan digelar sebagai wujud syukur kepada Tuhan sekaligus memohon agar masyarakat selalu diberi ketentraman, dijauhkan dari segala bahaya. Supani akan menari selama 4 hari berturut-turut tiap malamnya bersama leluhur yang merasuki tubuhnya.

Roslan (91), pawang Seblang Bakungan sejak tahun 1967 mengatakan, penari Seblang harus memiliki garis keturunan dengan penari pertama. Bila tidak, penari tidak akan bisa dimasuki roh leluhur Seblang.

"Mulai tahun 1639 sampai saat ini sudah ada 11 generasi. Penarinya masih memiliki garis keturunan. Jadi seperti raja, harus turun temurun," jelasnya.

Dari tahun 1639, Seblang Bakungan dibawakan oleh perempuan menapause atau sudah tidak menstruasi. Supani sendiri sudah menari sejak 2014, menggantikan garis saudara sebelumnya yang sudah meninggal.

"Supani akan digantikan saudaranya lagi untuk jadi penari setelah dia meninggal," jelasnya.

Masyarakat Bakungan masih memiliki catatan turun temurun siapa saja penari Seblang di kampungnya.

Penari Seblang Bakungan pertama oleh Agung Nyoman Dewi Oke tahun (1639-1698), kemudian Gondo (1699-1757), Wihi (1758-1832), Sukanto (1833-1887), Dewi (1888-1947), Winasi (1948-1965), Anjani (1966-1986), Misnah (1987-2002), Suhyati (2003-2010), Bohana (2011-2013) dan saat ini Supani sejak 2014 sampai sekarang.

Roslan melanjutkan, Seblang pertama pada tahun 1639 dimulai saat babat hutan. Namun terdapat satu pohon besar yang tidak bisa dirobohkan. Bila berupaya dirobohkan, selalu membawa korban jiwa.

"Kemudian ada sebuah syarat, agar bisa ditebang harus memiliki kesenian yang sunyi. Seb berarti meneng (diam) Lang (langgeng). Langgeng mulai awal sampai selesai. Saat babat hutan, itu banyak bunga bakung, jadinya bakungan," kata dia.

Selama menari Seblang selalu memejamkan mata dan tidak mengucap apapun. Gerakan lebih banyak didominasi dengan kedua tangan menyapu ke arah kanan dan kiri.

Tari Seblang Bakungan, kata Roslan, sempat tidak digelar saat peristiwa pendudukan Jepang pada 1942-1945. Kemudian era transisi pemerintahan Presiden Soekarno ke Soeharto tahun 1965-1966 juga sempat berhenti.

"Waktu Seblang berhenti tidak digelar, tanaman padi semua rusak karena banyak hama, banyak musibah datang," jelasnya.

Setelah jeda, Roslan merupakan pawang yang berhasil memasukkan roh leluhur ke dalam penari Seblang pada tahun 1967.

"Mulanya sampai ada 6 pawang yang tidak bisa memasukkan, sampai jam 2 pagi akhirnya saya bisa. Akhirnya bakungan kembali punya Seblang lagi," kenangnya.

Sebelum tari Seblang digelar, sejak senja semua listrik di satu kampung Bakungan harus dipadamkan. Penerangan hanya menggunakan obor di beberapa titik. Masyarakat kemudian berjalan keliling kampung membawa obor untuk Ider Bumi.

Kemudian tumpeng yang dibuat masing-masing warga dikeluarkan, ditata memanjang di tengah jalan. Semua masyarakat kemudian siap membaca doa, dan listrik kembali dinyalakan untuk makan tumpeng bersama.
Sesaat setelah itu, sepasang ayam jago diadu sebentar sebagai simbol persahabatan Kerajaan Blambangan dengan Bali. Darah ayam yang menetes ke bumi menjadi simbol menolak petaka.

"Agar tidak makan hak rakyat. Cukup darah ayam saja. Semoga slamet rakyatnya," jelasnya.

(ES/MUA)
  1. Seni dan Budaya
  2. Festival Banyuwangi 2018
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA