Ketupat gunggungan tidak berisi kukusan beras seperti ketupat pada umumnya, melainkan berisi sejumlah uang hasil sumbangan warga sekitar.
Merdeka.com, Banyuwangi - Banyuwangi, punya beragam tradisi unik setelah hari raya. Salah satunya yakni tradisi Gelar Pitu yang berlangsung di Dusun Kopenkidul, Desa Glagah, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Tradisi Gelar Pitu berlangsung setiap tujuh hari setelah lebaran, berupa arak-arakan Barong disertai gunungan dari ketupat.
Sebelum diarak, ketupat gunggungan dan barong terlebih dahulu disucikan dengan tujuh mata air yang ada di desa. Air suci tersebut lantas dipercikkan pada ketupat gunggungan dan Barong dengan tujuan penyucian. Doa-doa kemudian dibacakan sebagai simbol agar diberi keberkahan dan keselamatan.
Uniknya, ketupat gunggungan ini tidak berisi kukusan beras seperti ketupat pada umumnya. Melainkan berisi sejumlah uang hasil sumbangan warga sekitar. Setelah berkumpul, ketupat berisi uang ini lantas disusun seperti bentuk gunung. Warga Dusun Kopenkidul menyebutnya sebagai ketupat gunggungan.
"Bebas, satu rumah ada yang nyumbang satu ketupat, dua ketupat atau 10 ketupat. Isi uang di dalamnya pun sukarela tidak kami tentukan," jelas Kepala Desa Glagah, Hairihi, beberapa waktu lalu.
Arak-arakan Barong dan ketupat gunggungan diarak di sekitar rumah penduduk. Menyusuri gang dan areal persawahan hingga menuju makam Buyut Saridin yang merupakan leluhur warga Dusun Kopenkidul. Di sana kemudian digelar acara selamatan serta makan-makan bersama.
Di puncak acara, gunggungan ketupat kembali diperciki air sekaligus merapalkan berbagai doa. Baru kemudian warga diperbolehkan berebut ketupat berisi uang. Warga meyakini semakin banyak mendapatkan ketupat, maka akan semakin diberi kelancaran rezeki.
“Setelah melakukan tradisi Gelar Pitu, masyarakat bisa kembali bekerja. Bagi yang kerja di Bali atau di luar kota baru boleh berangkat setelah acara selamatan ini. Agar masyarakat diberi keberkahan dan keselamatan. Jadi ini merupakan acara bersih desa,” ujar Hairihi.