"Syekh Siti Jenar ke sini pengen mencari kesejukan, ketenangan. Dia datang dari Bintoro, Demak," ujar Lastono.
Merdeka.com, Banyuwangi - Syekh Siti Jenar, salah satu wali yang dianggap kontroversial karena ajaran 'Manunggaling Kawulo Gusti' ini konon pernah singgah ke Banyuwangi, tepatnya di Dusun Sukorejo, Desa Lemah Abang, Kecamatan Singojuruh. Sampai saat ini, kedatangan Syekh Siti Jenar dibekukan dalam simbol nama desa.
"Beliau lahir di Lemah Abang Cirebon. Setiap tempat yang pernah disinggahi beliau pasti akan dinamai lemah abang atau tanah abang," kata Juru Kunci Situs Lastono Syekh Siti Jenar Lemah Abang, Turin, kepada Merdeka Banyuwangi, Minggu (11/12).
Situs Lastono, kata Turin, merupakan tempat makam-makam para bangsawan Kerajaan Blambangan yang mencapai luas 17 hektare. Penemuan ini, bermula saat banyak warga yang mencangkul di area Lastono lantas menemukan pondasi dan makam.
"Namun sekarang yang dijaga dalam pagar ini luasnya 30 meter persegi," ujarnya.
Areal makam yang sebagian besar tertimbun tanah ini ditemukan warga pada 1468. Sedangkan Syekh Siti Jenar sendiri, lahir pada 1426.
"Di dalam bangunan itu, ada makam para abdi dalem Syekh Siti Jenar. Kalau yang itu makam kuno tahun 1913. Zaman belanda, bangunnya. Bahan bakunya sama dengan pondasi rel," tutur juru kunci situs Lestono yang ke-11 ini.
Turin sendiri, tahu sekilas sejarah Blambangan dan kedatangan Syekh Siti Jenar ke Banyuwangi melalui cerita turun-temurun. "Ceritanya ya dapat dari embah. Secara tutur tinular," ujar pria kelahiran 1963 ini.
Dia mengatakan, kedatang Syekh Siti Jenar ke Banyuwangi bukan untuk menyebarkan agama. Melainkan untuk bertapa dan menenangkan diri.
"Syekh Siti Jenar ke sini pengen mencari kesejukan, ketenangan. Dia datang dari Bintoro, Demak," ujarnya. Jadi tempat ini disakralkan
Situs Lastono Syekh Siti Jenar Lemah Abang, setiap hari tidak pernah sepi pengunjung. Turin, selalu menyuruh tamu yang berkunjung untuk mengisi buku tamu. Sejak 2004 menjaga, dia mengaku sudah menghabiskan tiga buku tebal berisi daftar kunjungan.
"Rata-rata kedatangan mereka untuk nguri-nguri (berdoa). Ada yang dari Lumajang, Banten, Kebumen, Kalimantan, Sumatra, Aceh, Bali, Flores. Sering kadang sampai nginap sampai seminggu," ujarnya.
Turin mengatakan, tempat tersebut bebas untuk dikunjungi siapapun. Dan tidak ada syarat khusus bila ke sana. Bisa jadi tempat wisata sejarah sekaligus berdoa. "Bebas ke sini. Asalkan bisa saling menghargai," tuturnya.
Hari-hari yang paling ramai, katanya, setiap malam Jumat manis, dan saat Bulan Suro (Jawa). Tidak seperti area makam pada umumnya, di sana sudah terdapat fasilitas tempat duduk seperti gazebo, warung dan toilet. Ada juga satu pohon beringin sangat besar, membuat tempat ini selalu sejuk dan nyaman dikunjungi.