Jarak sekolahan dengan lokasi siswa-siswi yang dijemput sekitar 8 kilometer dengan kondisi jalan berbatu dan naik turun.
Merdeka.com, Banyuwangi - Ini kisah Ahmadi, kepala Madrasah Ibtidaiyah (MI) Asyawiyah di Dusun Kampung Baru, Dewa Margomulyo, kawasan perkebunan Glenmore, Kabupaten Banyuwangi. Saban pagi, pukul 05.30 WIB, dia selalu menyusuri jalur evakuasi sebuah desa di lereng Gunung Raung untuk menjemput anak didiknya, agar tetap bisa bersekolah.
Padahal, jarak sekolahan dengan lokasi siswa-siswi yang dijemput sekitar 8 kilometer dengan kondisi jalan berbatu dan naik turun. Jalanan berbatu itu dihimpit hutan pinus, kopi dan karet. Bahkan ada jalur berbahaya di tepi jurang dilewati.
"Perjalanan dari sekolah sampai di Dusun Darungan, pulang pergi itu satu jam. Jadi saya berangkat dari rumah pukul 05.30 WIB pagi. Sampai sini kadang setengah tujuh, kadang jam tujuh kurang seper empat," tutur Ahmadi kepada Merdeka Banyuwangi, Sabtu (26/3).
Sesampai di Dusun Darungan, Ahmadi akan membawa 8 siswa-siswinya ke sekolah. Mulanya, dia menjemput dengan mobil Kijang, lalu motor gerobak. Semua itu berlangsung sejak 2013 sampai Februari tahun ini. Semua biaya operasional, mulai perbaikan kendaraan dan bahan bakar dia tanggung sendiri.
Mulai Januari, Ahmadi tidak lagi menjemput anak didiknya. Mobil Kijang yang mulanya dia gunakan, butuh empat liter per hari. Ban mobilnya juga cepat rusak dan sobek. Mobil bekas tersebut dia beli dengan harga Rp 16 juta, hasil iuran para guru. "Guru-guru iuran Rp 1 jutaan, saya ada rejeki Rp 10 juta. Saya belikan kijang," ujarnya mengenang.
Sedangkan motor gerobak untuk menjemput anak-anak juga sudah berulangkali keluar masuk bengkel, setelah kurang lebih beroperasi selama dua tahun.
"Sudah sebulan ini enggak kepakai. Bagian setir sudah patah tiga kali, pir (pegas) roda belakang patah, As-nya juga pernah patah. Sekarang, setirnya bagian T-nya patah lagi, sampai delosor saya. Dan radiatornya (pendingin) pecah kena batu, lalu bocor. Itu karena kondisi jalan sangat parah," ujarnya.
Sejak motor gerobaknya rusak parah, Ahmadi mulai berpikir ulang. Anak didiknya yang di Dusun Darungan, terpaksa diliburkan selama dua hari. Dia juga terkendala biaya operasional, untuk perbaikan kendaraan dan bahan bakar. Bengkel di sekitar rumahnya mengatakan butuh biaya perbaikan sampai tiga juta.
"Dari pada terus menerus rusak, akhirnya saya mikir mending untuk beli sepedah bekas yang tidak diperpanjang lagi pajaknya. Tiga juta dapat dua motor. Itu lebih irit lagi. Tak bawakan sudah," imbuhnya.
Motor tersebut kemudian diberikan kepada delapan anak didiknya untuk perjalanan berangkat dan pulang sekolah. Sejak saat itu, Ahmadi tidak lagi menjemput anak didiknya. Dia hanya memberi uang beli bensin. "Sepeda satu, dipakai empat sampai lima orang biasa anak-anak itu," terang Ahmadi.
Semua itu bermula saat Ahmadi menjadi Kepala Sekolah di MI Asyawiyah pada 2011. Dia bersama guru-guru lain coba mencari siswa di daerah pelosok. Dusun Darungan, perkampungan paling ujung di lereng Gunung Raung, tersebut salah satunya. Dia mendatangi satu per satu rumah di sana yang memiliki anak usia sekolah. Akhirnya mendapatkan 10 anak bersedia sekolah.
"Menyadari kalau MI kami kan hanya lembaga kecil, jadi kami mencari murid. Awalnya main-main di daerah pelosok. Kemudian ngomong sama orang tuanya. Ada yang mau dan tidak," ujar lulusan S1 Ibrahimi, jurusan Pendidikan Agama Islam tersebut.
Saat ini, MI Asyawiyah sudah berhasil meluluskan 2 siswa dari 10 yang berasal dari Dusun Darungan. Sisanya masih ada yang kelas tiga, empat dan enam.
Pernah dikerjai murid
Ahmadi menjelaskan, di Dusun Darungan, banyak anak-anak tidak selesai sekolah tingkat dasar. Bukan hanya karena akses jalan sulit, melainkan kondisi ekonomi dan kurangnya dukungan orang tua menyekolahkan anak.
Pada saat menjemput, kata dia, pernah sesekali hanya dua anak masuk. Dia juga pernah dikerjai murid-muridnya. Jalan yang sudah berbatu tersebut, masih ditambah dengan batu-batu besar, agar motor gerobak gurunya tidak bisa lewat.
"Pernah njemput, yang masuk ternyata cuma dua anak, kadang ya gregetno (menyebalkan). Wes Sekolah sandalan, sepatuan cepat rusak," ujar Ahmadi.
Arif (12) salah satu siswa kelas 6 asal Dusun Darungan mengaku tidak suka dibonceng dengan motor gerobak. Kondisi jalan yang buruk membuat badannya sakit. "Enggak enak, enakan bawa motor sendiri," ujarnya kepada Merdeka Banyuwangi di sekolahnya.
Ahmadi menjelaskan, saat ini MI Asyawiyah memiliki 52 siswa. Dia mengaku akan terus mengabdi untuk pendidikan lewat sekolah swasta yang berdiri pada 1996 tersebut. "Yang ke sini rata-rata dari anak tidak mampu. Sekolah ini buat mengabdi saya, untuk pemasukan cari lain," ujarnya.