Saat ditanya cita-cita, mereka menjawab bersama-sama. "Cita-cita enggak tahu kak".
Merdeka.com, Banyuwangi - Ini kisah tentang perjuangan guru dan 10 siswa yang setiap hari harus melewati jalan berbatu, naik turun, menyusuri tepi jurang, perkebunan kopi, karet dan pinus. Mereka dikenal sebagai 'Laskar Raung'.
Siang itu, Merdeka Banyuwangi datang ke MI Madrasah Ibtidaiyah (MI) Asyawiyah di Dusun Kampung Baru, Desa Margomulyo, Glenmore. Tempat anak-anak Laskar Raung sekolah. Jarak sekolah tersebut dengan kampung halaman Anak-anak yang ada di Dusun Darungan sekitar 8 kilometer.
Sejak 2013, Ahmadi, Kepala Sekolah MI Asyawiyah, setiap pagi harus antar jemput ke-10 anak didiknya itu. Mulanya Ahmadi menggunakan mobil Kijang, namun sering gonta-ganti ban akibat mudah sobek. Lantas dia ganti menggunakan kendaraan motor gerobak. Akibat kondisi jalan berbatu, setir motor gerobaknya sering patah.
"Pakai motor gerobak setir T-nya sering patah. Karena biaya perbaikannya mahal, akhirnya anak-anak tak belikan dua motor bekas," tuturnya kepada Merdeka Banyuwangi, Sabtu (28/3).
Sejak Februari lalu, anak-anak Laskar Lereng Raung sudah dipegangi motor. Ahmadi tidak lagi antar jemput, dia cukup membelikan bensin untuk bahan bakar motor dan biaya perbaikan. Semua menggunakan uang pribadinya. "Uang sekolah hanya cukup untuk gaji guru. SPP sudah gratis. Seragam untuk siswa juga sudah dibelikan," ujarnya.
Ahmadi mengatakan, Anak-anak Laskar Lereng Raung mulai sekolah di MI Asyawiyah sejak 2013, dari 10 siswanya sudah ada 2 lulus. Itu terjadi karena sebagian dari mereka sudah putus sekolah, lantas melanjutkan di MI Asyawiyah. Sedangkan dua anak yang sudah lulus, kata Ahmadi, akan coba didatangi agar mau mondok sambil melanjutkan ke jenjang SMP.
Saat anak-anak Laskar Raung pulang sekolah, Merdeka Banyuwangi coba mengikuti perjalanan mereka sampai kampung halamannya. Dari delapan anak, saat itu hanya ada tujuh yang masuk sekolah. Dua motor fasilitas dari kepala sekolah dinaiki berboncengan. Masing-masing motor dinaiki empat dan tiga anak.
Anak-anak ini antara lain; Muhammad Irfan (13), Samsul (12), Amin Yunianto (12) dan Ahmad (12). Keempatnya paling senior, sehingga mendapat bagian menyetir motor secara bergantian. Sedangkan Anisa (10), Ayu (10) dan Samsul (10) masih kelas empat. Lantas paling kecil, Sofyan (9), masih kelas tiga. Hari itu, Sofyan tidak masuk sekolah karena sedang sakit.
Saat naik motor, semua terlihat kompak. Irfan dan Ahmad terlihat mengatur posisi duduk. Sepeda Supra, diisi empat anak, dua di antaranya adalah perempuan, Anisa dan Ayu. Sedangkan motor satunya, dengan kondisi ban sedang kempes, knalpot plong dan sadel motor lebih pendek, diisi tiga anak laki-laki.
Saat Merdeka Banyuwangi mengikuti dari belakang, anak-anak ini mengendarai motor dengan kecepatan kurang lebih 30 km per jam. Dengan kondisi jalan berbatu, beberapa dari mereka yang dibonceng, tubuhnya terlihat terpontang panting.
Irfan, sebagai Laskar Raung paling tua di antara lainnya, sesekali menoleh ke belakang. Memastikan temannya tidak ketinggalan. Sesekali juga menunggu, sampai bisa berangkat bersama terus sampai tujuan.
Selama perjalanan, anak-anak Laskar Raung menyusuri dua lokasi berbahaya, jalanan berkelok dan di sampingnya sudah jurang. Sepanjang perjalanan, hanya ditemui dua lokasi yang ditempati penduduk. Selebihnya menyusuri kebun karet, kopi dan pinus.
Di tengah jalan, sesekali mereka juga bergurau. Samsul, yang masih kelas empat, disuruh membonceng. Namun kakinya belum sampai. Sekitar pukul 12.00 WIB, mereka sudah sampai di kampung halamannya, Dusun Darungan. Perjalanan kurang lebih membutuhkan waktu 30-40 menit.
Mereka enggak tahu cita-citanya jadi apa kelak
Siang itu, Merdeka Banyuwangi sampai di rumah milik Ayu. Sebagian besar rumahnya terbuat dari papan kayu, anyaman bambu dan beratap genting.
Suriami, ayah angkat Ayu mengatakan di Dusun Darungan hanya ada 18 Kepala Keluarga (KK). Sebagian besar bekerja menyadap getah pinus milik perhutani Glenmore. Termasuk Surami sendiri yang tiap hari menyadap getah pinus.
"Satu drum getah pinus upahe (upahnya) Rp 350 ribu," tutur Suriami. Untuk memenuhi satu drum, biasanya Suriami membutuhkan waktu sampai dua Minggu.
Suriami menjelaskan, mulanya Ahmadi, Kepala Sekolah MI Asyawiyah datang ke rumahnya untuk meminta anaknya sekolah. Suriami lantas mendukung tawaran dari Ahmadi.
"Geh Pak ahmadi teng mriki. Kepengen yogane pinter, nggeh kulo pasrah aken. (Iya, Pak Ahmadi datang ke sini. Saya ingin anak saya pintar, jadi saya pasrahkan ke Ahmadi)," tuturnya mengingat kedatangan Ahmadi tiga tahun silam.
Suriami mengatakan, setiap pagi sebelum berangkat sekolah, semua anak-anak berkumpul di rumahnya. Terutama saat Ahmadi masih antar jemput menggunakan motor gerobak.
Sepulang dari sekolah, anak-anak Laskar Raung biasa membantu orangtuanya ke hutan, menyadap getah pinus. Sepeda yang difasilitasi sekolahan, juga digunakan untuk transportasi ke hutan. Saat ditanya cita-cita, mereka menjawab bersama-sama. "Cita-cita enggak tahu kak".
Rumah Irfan yang berada di samping rumah Ayu, terlihat membuka usaha toko kecil. Sepulang sekolah, terkadang anak-anak ini mencari sayur pakis untuk dijual di toko tersebut.
"Biasanya dijual, kadang dapat uang tiga ribu," tutur Ahmad. Dia dan teman-temannya sudah biasa mencari pakis untuk dijual. Hasilnya mereka gunakan untuk uang saku sekolah.
Hal ini juga dibenarkan oleh Ahmadi. Anak didiknya di Dusun Darungan, memang sering mencari sayur pakis untuk uang saku. Dia juga menjelaskan, saat dulu menjemput menggunakan motor gerobak, anak-anak seringkali masih tidur.
"Anak-anak itu tidurnya ada yang di atas loteng rumahnya. Makanya seragam sering rusak, buku raport juga kotor kalau terlalu lama di sana," ujarnya.