"Artinya menikmati Kopi Uthek, bisa untuk semua kalangan. Kalau yang suka manis bisa menambah gigitan gulanya," kata Syamsudin.
Merdeka.com, Banyuwangi - Masyarakat Desa Banjar, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi berupaya mengenalkan kembali jajanan tradisional melalui rangkaian Banjar Village Festival Kopi Uthek dan Sego Lemeng yang berlangsung mulai tanggal 8-9 Juli. Pengunjung bisa menikmati beragam sajian kuliner tradisional khas Suku Using.
Sajian kuliner dan jajanan yang berupaya dimunculkan beberapa diantaranya seperti Kopi Uthek, Sego Lemang dan Tali Abrem. Masing-masing memiliki ciri khas yang tidak lepas dari masyarakat Suku Using di Banyuwangi.
Kopi Uthek, sudah dikenal turun temurun di Desa Banjar. Cara mengkonsumsinya, berbeda dengan seduhan kopi pada umumnya. Kopi tanpa gula diracik ke dalam teko atau langsung di cangkir. Kemudian beberapa potongan lirang (gula aren) disajikan di tempat terpisah. Cara minumnya, bisa merasakan kopinya terlebih dahulu atau gulanya.
"Artinya menikmati Kopi Uthek, bisa untuk semua kalangan. Kalau yang suka manis bisa menambah gigitan gulanya, kalau yang tidak tinggal menyesuaikan," kata Syamsudin, Ketua Panitia Banjar Village Festival Kopi Uthek dan Sego Lemeng, Minggu (9/7).
Setiap pengunjung yang ingin menikmati Kopi Uthek, kata Syamsudin bisa berkunjung ke Desa Banjar, yang terletak di Kaki Gunung Ijen. Sebagai sentra penghasil gula aren, saat ini masih ada sekitar 30-40 penyadap nira (sari aren).
Selain itu, ada istilah lain untuk menyebut kopi uthek. Abdul Halim (59) warga Suku Using, Desa Banjar menyebutnya sebagai Kopi Keletuk. Caranya, biji kopi yang sudah disangrai langsung dikeletuk (dimakan) kemudian menggigit gula aren. “Setelah itu, tinggal menyiapin air panas tawar, disruput sedikit-sedikit," ujarnya.
Di sisi lain, Mamet warga Suku Using dari Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh yang hadir di Banjar Village Festival mengatakan, di daerahnya istilah Kopi Uthek disebut sebagai Kopi Cokot. "Jadi usai menikmati seduhan kopi, kemudian men-cokot (mengigit) gulanya," ujarnya.
Selain Kopi Uthek, Suku Using Desa Banjar juga kembali mengenalkan kuliner tradisional Sego Lemeng dalam Banjar Village Festival. Sego Lemeng memiliki nilai sejarah bagi warga Desa Banjar.
Lukman Hakim, Ketua Adat Desa Banjar menjelaskan, saat melawan Kolonial Belanda, kuliner Sego Lemeng menjadi sajian selama melakukan gerilya.
"Jadi saat melakukan gerilya di hutan melawan Kolonial Belanda, pendahulu kami bertahan di dalam dengan mengkonsumsi Sego Lemeng," ujar Lukman yang mendapat cerita dari warisan turun-temurun.
Cara memasaknya, menggunakan media bambu. Nasi atau beras yang sudah dibungkus dengan daun pisang, kemudian dimasukan ke dalam bambu untuk dibakar.
Saat ini, Sego Lemeng dimasak dengan rempah lebih kaya. Nasi yang dibungkus, sudah berisi potongan daging, tempe atau ikan laut. Setelah dimasak ke dalam bambu dengan cara dibakar, kuliner ini mampu bertahan hingga tiga hari.
"Lemeng itu artinya agar perut menjadi tenang. Kenyang, dan tetap lemang," katanya.
Melestarikan Tali Abrem
Jajanan Tali Abrem seringkali menjadi suguhan setiap kegiatan hingga sajian untuk lebaran Idul Fitri. Akan tetapi, di akhir tahun 80-an, jajanan Tali Abrem sudah mulai jarang diproduksi oleh masyarakat.
"Kalaupun ada yang membuat hanya orang-orang tua saja," ujar Syamsudin, Ketua Asosiasi Kerajinan, Kuliner, Kaos, Aksesoris dan Batik (AKRAB), di sela Festival Banjar Village.
Pria yang juga warga asli Desa Banjar ini melanjutkan, Jajanan Tali Abrem, terbuat dari tepung beras dan adonan gula aren. Kemudian diberi taburan wijen, dan digoreng. Saat dimakan, rasanya sangat manis dan empuk.
Syamsudin melanjutkan, Tali Abrem sudah mulai banyak diproduksi lagi di Desa Banjar setelah diselenggarakan Osing Culture Festival tahun 2016.
"Sekarang di Desa Banjar sudah ada tiga UMKM yang membuat Tali Abrem. Dan sambutan pembeli cukup bagus," katanya. Jajanan Tali Abrem, dijual Rp 44 ribu per kilonya.