"Kalau warga lokal, termasuk pemuda dan mahasiswa sering ke sini. Bahkan hampir tiap hari ada. Rata-rata hanya ingin lihat dan foto-foto".
Merdeka.com, Banyuwangi - Jalan-jalan di PT Perkebunan Glenmore, Kecamatan Glenmore, Kabupaten Banyuwangi, wisatawan akan menyaksikan proses pengolahan getah karet yang disadap dari pohon, hingga pengolahan karet mentah menggunakan teknologi peninggalan Kolonial Belanda.
Tidak hanya itu, pengunjung juga bisa menikmati berbagai peninggalan bangunan bersejarah. Mulai kantor perkebunan dengan arsitektur Eropa hingga bekas kepala kereta atau lokomotif ketel uap yang masih terawat.
Dari daftar tamu, sudah ada ratusan pengunjung yang melihat masuk ke kawasan pengolahan karet. Rata-rata mereka merupakan wisatawan mancanegara dari Australia, Belanda, Korea dan Cina.
"Kalau warga lokal, termasuk pemuda dan mahasiswa sering ke sini. Bahkan hampir tiap hari ada. Rata-rata hanya ingin lihat dan foto-foto," ujar Mat Dolla, petugas jaga PT Perkebunan Glenmore, pekan lalu.
Untuk masuk ke dalam dan melihat proses pengolahan karet, beserta peralatan produksi peninggalan Belanda, wisatawan cukup mengisi buku daftar tamu. Namun, untuk wisatawan Mancanegara cukup membayar Rp 30 ribu per orang.
"Kalau bule bayar Rp 30 ribu. Biasanya mereka datang ke sini diantar sama pihak hotel," jelasnya.
Di dalam, wisatawan bisa melihat para pekerja sedang sibuk menuang getah karet (latex) ke cetakan, hingga meniriskan menggunakan mesin pengering oven.
"Di perkebunan sini ada tiga afdeling. Satu afdeling rata-rata menghasilkan sampai 50 cirigen tiap harinya, dengan kapasitas 27 liter per cirigen," ujar Nunung (56) salah satu pekerja harian sejak 1981.
Di sana, pengunjung juga bisa melihat proses akhir karet mentah yang sudah jadi. Sebagian besar, pekerja di bagian finishing merupakan perempuan, untuk menata dan meggunting bagian karet yang rusak.
"Dipisahkan mana karet yang baik untuk ekspor, dan karet yang rusak. Ada juga hasil limbah, pengolahannya cukup dijemur. Di sini dulu ada pengolahan coklat, kopi dan cengkeh. Tapi sekarang tinggal karet," kata Liha, salah satu pekerja perempuan.
Dari catatan singkat di PT Pergebunan Glenmore, yang tersedia saat masuk ke rest area, sistem produksi mulanya menggunakan tenaga ketel uap pada 1920. Namun berkembang dengan sistem listrik dari turbin pada 1928. Perkebunan ini, dibangun oleh Ros Taylor, pengusaha asal Skotlandia.
Saat ini, perusahaan perkebunan swasta tersebut, masih merawat dengan baik peninggalan mesin lokomotif ketel uap. Ditaruh di halaman pabrik perkebunan, sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
"Awalnya ada di dalam, dijadikan sirine untuk para pekerja. Baru tahun 1990 dipindahkan di luar. Orang sini nyebutnya 'kereta-keretaan'," ujar Malisa, salah satu penjaga perkebunan.
Dalam bagian mesin lokomotif, tertulis Ruston Proctor & CL Lincoln England, sebuah perusahaan yang memproduksi mesin teknologi pertanian tenaga uap terbesar sejak 1857. Perusahaan tersebut juga membuat lokomotif kereta api tenaga uap.
Di Glenmore, wisatawan sekaligus juga bisa mengunjungi Dosoen Kakao di kawasan Kendeng Lembu, Perkebunan PTPN XII. Di sana, ada produksi kakao atau coklat terbaik di dunia jenis edel. Luasan kebun kakao saat ini mencapai 1.500 hektare.
Kakao jenis edel, menjadi kualitas kakao terbaik, memiliki karakter biji berwarna putih. Saat menjadi cokelat, tidak mudah meleleh. Rasanya cenderung asam buah serta rasa manis madu.
Manager Kebun Kendeng Lembu, Titon Tantular menjelaskan, produksi cokelat saat ini mencapai 950 ton per tahun, dengan produktivitas 800 kilogram kakao per hektare.
"Kebanyakan kami ekspor ke Jepang, Jerman, Perancis, Italia, Amerika, Malaysia, dan Singapura. Kami juga olah sendiri untuk coklat, bisa jadi oleh-oleh wisatawan yang berkunjung," katanya.