1. BANYUWANGI
  2. INFO BANYUWANGI

Menengok perajin gedek dan besek di Banyuwangi

Di tengah perkembangan zaman, pembeli gedek dan besek masih ada.

©2016 Merdeka.com Reporter : Mohammad Ulil Albab | Rabu, 26 Oktober 2016 12:08

Merdeka.com, Banyuwangi - Jari-jari para ibu-ibu Kelurahan Papring, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, terlihat lincah menganyam bilahan bambu menjadi kerajinan besek dan gedek.

Besek, merupakan kerajinan yang biasanya digunakan untuk tempat menaruh buah dan olahan jajanan tape singkong. Sedangkan gedek, merupakan dinding rumah tradisional dari anyaman bambu.

Menjadi seorang pengrajin besek dan gedek, ada beragam proses yang harus dituntaskan. Mulai menebang bambu, memotong, membelah menjadi irisan tipis, dijemur, direndam, baru kemudian dianyam.

Dari serangkaian proses membuat kerajinan tersebut, ada pekerja yang hanya memotong bambu dan menganyam. Tergantung untuk siapa dia bekerja. Ada yang bekerja untuk diri sendiri sampai karyanya dijual. Ada juga yang bekerja kepada orang lain, misalkan sebagai buruh menganyam bambu untuk menjadi gedek dan besek.

Suida (30), salah satu buruh perempuan menganyam gedek, sudah menekuni kerajinan tersebut sejak tahun 1990-an, saat dia masih belum menikah. "Kalau saya buruh menganyam saja. Selesai menganyam satu buah gedek ini upahnya Rp 17 ribu. Ada yang Rp 20 ribu, tergantung lebar bilahan," ujar Suida kepada Merdeka Banyuwangi, beberapa waktu lalu sambil menganyam di rumahnya.

Menjadi pengrajin gedek, kata Suida, dibutuhkan ketelatenan dan hati-hati dalam bekerja. Jika tidak, lapisan luar kulit bambu yang menjadi bahan, tiap lembarnya bisa mengiris tangan.

"Lak keiris (kesayat) wes biasah. Kalau belum biasa nganyam ya tambah sering kena," ujarnya.

Saat ditemui di halaman rumahnya sekitar pukul 20.00 WIB, Suida masih terlihat sibuk menganyam. Dia mengatakan, tiap harinya biasa mulai menganyam pukul 07.00-13.00 WIB. Sedangkan saat malam, seringkali dimulai pukul 18.00-23.00 WIB.

Dalam sehari, Suida bisa menganyam gedek sampai satu buah, dengan ukuran 3x4 meter. Bila buruh menganyam saja mendapat Rp 17 ribu, saat dijual ke pasaran, satu lembar anyaman gedek bisa laku Rp 85-100 ribu.

Pekerjaan menganyam ini, kata Suida memang lebih banyak dikerjakan oleh para perempuan, mulai yang muda sampai Ibu-ibu rumah tangga. Sedangkan pihak laki-laki, kebagian kerja memotong bambu, mengangkut sampai proses pembelahan. Ada juga yang langsung menjual bambunya saja sampai dalam bentuk bilahan siap dianyam.

"100 biji bilahan bambu harganya Rp 12 ribu. Butuh 550 sampai 600 bilahan buat satu lembar gedek," jelas istri dari Sunawi (43) ini.

Sunawi dan Suida, malam itu terlihat saling membantu. Dengan penerangan lampu neon, keduanya akan menuntaskan satu lembar gedek sampai pukul 22.00 WIB.

Selain itu, Sunarti (33) juga terlihat sibuk menganyam besek di sampingnya. Kebiasaan menyanyam bersama sambil berbincang apapun, sudah menjadi keseharian para Ibu-ibu di Papring.

Tidak kalah lincahnya, tanpa melihat lipatan-lipatan anyaman yang dia kerjakan, Sunarti bisa merampungkan membuat besek dengan cepat. Kali ini, Sunarti menjadi buruh untuk dirinya sendiri. Semua bahan olahan bambu sampai siap dianyam, dikerjakan suaminya. Sunarti tinggal menganyam hingga menjadi besek, sampai bisa dijual.

"Kalau saya buat sendiri. Ukuran 25X25 Cm. Per biji harga jualnya Rp 800," ujarnya.

Sedangkan untuk upah buruh menganyam besek, kata Sunarti per seratus besek dihargai tujuh ribu lima ratus. Artinya per bijinya, diharga Rp 75.

Dalam sehari, Sunarti seringkali membuat sampai 50 besek. Pekerjaan ini, sudah dia kerjakan sejak usia 13 tahun. Menurutnya, saat dia masih remaja, hampir semua warga Papring membuat kerajinan gedek dan besek. Namun saat ini hanya tersisa beberapa saja.  

"Sekarang yang menganyam tinggal 10 orang. Lak dulu iku kabeh warga sini menganyam," jelasnya.

Munahju (61) pada tahun 1990-an, merupakan salah satu pengepul kerajinan besek dan gedek cukup besar di Papring. Dia mengatakan kerajinan anyaman bambu di sana memiliki ciri khas. Salah satunya mengutamakan kualitas gedek dengan memanfaatkan bahan dari bagian kulit bambu.

Sedangkan permintaan pasar, dikirim ke Bali dengan skala besar. Pada tahun 2000-an, permintaan pasar semakin menurun. Salah satunya, karena sudah semakin banyak rumah beratap tembok. Serta pengganti besek di pasaran berbahan plastik yang semakin banyak.

"Kalau dulu itu mayoritas masyarakat sini menganyam gedek kulit. Seng menganyam ada ratusan orang. Pekerjaku dulu kalau besek ada 50 orang lebih mulai tahun 1990-an sampai 1996.

(MH/MUA)
  1. Kerajinan
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA