Pemkab Banyuwangi pun fokus memberikan pelatihan cara membuat pewarna dari bahan alami.
Merdeka.com, Banyuwangi - Pemerintah Banyuwangi terus mengkampanyekan batik dengan pewarna alami. Selain laku di pasar internasional, batik dengan pewarna non-sintetis ini sangat ramah lingkungan. Untuk itu keterampilan membatik menggunakan pewarna alami mulai diajarkan di Bumi Blambangan.
Seperti pelatihan membatik di Desa Singolatren, Kecamatan Singojuruh ini misalnya. Ibu-ibu rumah tangga, peserta pelatihan ini tak hanya diajari bagaimana membuat batik tulis, tapi juga cara mengolah pewarna alami.
Hasil batik pewarna alami tak kalah dengan pewarna sintetis produk import. Bahkan harganyapun sangat mahal. "Harganya bisa sekitar Rp 1,7 juta untuk pasar kelas nasional, itu masih tergolong murah," kata Instruktur Batik dari Kementerian Perindutrian, Gama Biya, Kamis (28/4).
Instruktur yang sudah memberi pelatihan ibu-ibu di Desa Singolatren itu mengatakan Banyuwangi kaya bahan-bahan alami. "Di sini banyak bahan pewarna alami tapi tak ada yang tahu. Saya sempat keliling desa, ternyata menemukan banyak tumbuhan-tumbuhan yang bisa dijadikan zat pewarna alami," katanya.
Dengan begitu, warga Tanah Osing (Using) ini tak perlu modal besar untuk membatik. Sebab semua sudah tersedia di desa mereka. "Untuk bisa membatik dengan pewarna alami di sini tak butuh modal banyak," ucap pria yang juga Anggota Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta ini.
Gama menghitung, untuk membuka bisnis batik dengan pewarna alami hanya butuh modal awal sekitar Rp 500 ribu. Modal tersebut digunakan untuk membeli kompor, panci, alat tulis, dan kebutuhan batik lainnya. Keuntungan dari membatik juga lumayan, sekedar usaha sampingan bisa mencapai Rp 3 juta per bulan. "Ini (untung) yang iseng yang sebulan cuma dua lembar kain, terus bagaimana yang serius?," katanya.
Untuk itu, kata Gama, Batik Indonesia sudah harus bisa meninggalkan pewarna pabrikan, harus back to nature. Batik Indonesia harus bisa memanfaatkan bahan-bahan pewarna alami yang tumbuh di sekitarnya. Tujuannya agar batik Indonesia bisa diterima di pasar internasional.
Terlebih lagi pasar luar negeri suka main curang. Saat ini negara-negara yang ada di Eropa dan Amerika tidak menerima pakaian berbahan sintesis. Padahal bahan-bahan sintesis itu dari mereka yang dieksport ke Indonesia, kemudian diolah menjadi pakaian.
"Tapi mereka tidak mau terima, ini kan curang. Mereka jual pewarna sintetis ke kita (Indonesia) dengan harga mahal. Tapi ketika hasilnya kita jual ke mereka ditolak. Bahkan dibuang ke laut. Katanya pewarna sintetis berbahaya. Wong itu bahan yang mereka jual ke kita, gak curang bagaimana?" keluhnya.
Sementara menurut Ketua Kelompok Dasa Wisma (Pokdawis) Sumur Gemuling Batik Singolatren, Siti Mashuroh, saat ini ibu-ibu di desanya mulai banyak menggeluti keterampilan batik dengan pewarna alami seperti yang diajarkan di pelatihan.
"Sekarang tinggal 20 orang yang masih ikut pelatihan, awalnya ada 40 orang. Setelah bisa membatik mereka mulai membuka usaha batik sendiri di rumah. Ya lumayan buat tambahan ekonomi," kata Mashuroh.
Mashuroh menerangkan dari ilmu yang diajarkan Gama, ibu-ibu anggota Pokdawis Sumur Gemuling Batik Singolatren juga mulai bisa mengolah bahan pewarna alami, selain tahu bagaimana cara membatik.
Seperti misalnya mengolah getah pohon indigo yang mirip pohon perdu menjadi zat pewarna alami. Termasuk juga mengolah tumbuhan jalawe, tegeran, jambal yang bisa dijadikan bahan perwarna.
Di Banyuwangi sendiri, ada banyak tumbuh liar yang bisa dimanfaatkan dan jika dibudidayakan bisa menjadi komoditas ekonomi tinggi. Misalnya warna biru yang banyak diminati pasar nasional maupun internasional. Warna biru hasil olahan dari pohon indigo ini sulit didapat sehingga harganya cukup mahal.