"Gandrung sudah menjadi maskot Banyuwangi secara nasional maupun internasional," kata Kang Tadik.
Merdeka.com, Banyuwangi - Belum banyak yang tahu siapa penari Gandrung pertama hingga kini tarian yang biasa digunakan menyambut tamu itu begitu populer dan dibawakan ke benua Eropa hingga Amerika. Rustadi (54) cucu kandung Mbah Semi sang Gandrung Kawitan atau penari Gandrung pertama di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, memanfaatkan selamatan kampungnya untuk mengenalkan sosok sang nenek.
Selamatan Kampung Cungking di Kelurahan Mojopanggung biasanya berupa ritual lamaran dan kembalikan lamaran antara pihak kelurahan dan juru kunci makam Buyut Cungking alias Buyut Wongso Karyo, yang dilanjutkan doa dan makan bersama di tepi jalan. Lamaran menjadi simbol kerjasama antara pemerintahan dan ikon kepercayaan masyarakat, yakni Buyut Cungking yang bahkan ada yang meyakini masih hidup, hanya saja telah moksa di dalam makam keramat.
Telah 2 tahun ini rangkaian selamatan desa itu ditambahi kegiatan ziarah kubur Gandrung Semi yang semasa hidup hingga setelah meninggal dunia makamnya berada di Cungking. Tak lain karena upaya Kang Tadik, sapaan Rustadi, untuk meluruskan sejarah sebetulnya asal Gandrung pertama di Bumi Blambangan.
"Gandrung sudah menjadi maskot Banyuwangi secara nasional maupun internasional. Tapi banyak masyarakat tidak tahu Mbah Semi itu siapa, kami buat begitu supaya masyarakat bisa membaca dengan sendirinya bahwa Gandrung awalnya dari sini," kata Kang Tadik kepada Merdeka Banyuwangi, Rabu (29/8).
Di rumahnya terpajang beberapa foto hitam putih Mbah Semi saat masih muda sedang menari Gandrung menggunakan kostum lengkap dan fotonya saat telah lanjut usia. Ada pula piagam penghargaan bidang seni Gandrung oleh Bupati Banyuwangi saat itu, Djoko Supaat Slamet, tanggal 2 Oktober 1972 serta penghargaan atas prestasi dan dedikasi di bidang seni dan budaya dari Pemprov Jatim, ditandatangani Gubernur Imam Utomo, pada tahun 2000.
Kang Tadik mengaku, untuk memberikan informasi mengenai Gandrung pertama itu kepada masyarakat, dia telah menyusun konsep khusus saat ziarah kubur atau nyekar, yang telah diselenggarakan hari Selasa (28/8). Mula-mula 20 orang penari wanita muda Cungking memakai kostum Gandrung tak lengkap berjalan beriringan sambil membawa bunga tabur ke makam Mbah Semi diikuti warga.
Setelah dilakukan doa, 20 penari wanita terpilih itu keluar dari area makam keluarga itu dan langsung menari sambil berjalan kembali ke rumah Kang Tadik. Setelahnya digelar selamatan dengan 15 tumpeng yang disediakan Kang Tadik di rumahnya hingga masuk waktu magrib.
"Sama penjajah Belanda dulu Mbah Semi dianggap jenius. Hanya melihat penari pria berlatih, dia langsung bisa melakukannya juga dengan baik tanpa dilatih," katanya lagi.
Malam harinya dilaksanakan Ider Bumi atau iring-iringan mengelilingi kampung yang dilakukan 20 penari yang sebelumnya ikut nyekar ke makam yang kini telah berkostum Gandrung lengkap dan kesenian rebana dengan gaya pukulan khas Banyuwangi bernama Kuntulan. Kegiatan itu menggambarkan Gandrung yang sekarang telah banyak dikenal dan dipentaskan di luar daerah, bahkan di luar negeri.