"Backpacker ini yang banyak tinggal di homestay saat berwisata ke Banyuwangi," kata Bram.
Merdeka.com, Banyuwangi - Hasil survei terbaru yang melibatkan 530 orang wisatawan domestik maupun mancanegara di Banyuwangi mencatatkan bahwa mereka lebih banyak memilih homestay daripada hotel berbintang. Sebanyak 13,5 persen wisatawan memilih menginap di homestay, sedangkan 7 persen memilih hotel berbintang.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banyuwangi Muhammad Yanuar Bramuda mengatakan hal itu merupakan efek dari peraturan di Banyuwangi tidak diperbolehkan membangun hotel di lokasi wisata. Sehingga wisatawan banyak yang memanfaatkan jasa penginapan homestay-homestay di Banyuwangi.
"Dengan begini ekonomi rakyat semakin tumbuh. Semakin inovatif dan kreatif pemilik homestay menyediakan fasilitas-fasilitasnya, harga sewa akan semakin tinggi," kata Bram, Jumat (5/1).
Sejauh ini ada 250 homestay yang tercatat Disbudpar Banyuwangi, yang tersebar di Pantai Pulau Merah, Kecamatan Songgon, Kecamatan Licin dan Kecamatan Glagah. Harga sewa juga beragam mulai Rp 100 ribu hingga 200 ribu per malam, tergantung kelengkapan fasilitas homestay.
Bram menambahkan, Banyuwangi yang merupakan daerah yang baru berkembang dengan pariwisatanya memang lebih banyak didatangi backpacker. Baru kemudian mereka membagi cerita di tempat asalnya, yang akhirnya banyak wisatawan 'berduit' turut datang ke Banyuwangi.
"Backpacker ini yang banyak tinggal di homestay saat berwisata ke Banyuwangi," kata Bram lagi.
Hasil survei Alvara Research Center yang dirilis November 2017 itu juga mengatakan 10,5 persen wisatawan memilih menginap di hotel melati dan 0,5 persen diantaranya menginap di losmen. Yang paling banyak adalah wisatawan yang menginap di rumah warga yang mencapai angka 51 persen.
Kawan berlibur mereka di Banyuwangi juga beragam, 48 persen bersama teman, 38,5 persen bersama keluarga, dan 32,5 persen bersama keluarga besar. Mereka yang berwisata ke Banyuwangi bersama suami/isteri saja mencapai 15,5 persen, yang sendirian 9 persen dan sisanya sebanyak 7 persen bersama komunitas.
"Kesempatan ini harus dimanfaatkan masyarakat, terutama pemilik homestay. Mereka harus kreatif membuat paket wisata, menyediakan kuliner istimewa, tur desa dan lain sebagainya. Ini harus menjadi ekonomi baru bagi mereka," kata Bram.
Sementara itu Ahmad Efendi alias Ali (37) pemilik homestay Ijen Miner Family di Desa Tamansari, Kecamatan Licin mengatakan dari 10 kamar yang disediakannya biasanya 2 kamar laku tersewa per minggu. Namun di musim Puncak Ijen ramai pada Juni, Juli, dan Agustus kamar-kamar mereka selalu penuh.
Ali yang sebelumnya merupakan penambang belerang Ijen sejak 2003 memutuskan membangun homestay patungan bersama keluarganya tahun 2014. Kini dia lebih banyak melayani tamunya, hingga mengantarkan mereka ke Puncak Ijen dengan 2 mobil hasil jerih payah bersama keluarga dalam mengelola homestay.
"Kalau sama-sama lancar masih enakan di homestay, banyak kenalan, banyak teman, banyak pengalaman jadi (pernah) ke Surabaya, ke Bali. Dulu cari hutangan 100 ribu saja susah, sekarang pinjam ke bank puluhan juta dikasih," kata Ali.