"Nasi dibagikan kepada semua warga kemudian di makan di sebelah sumber mata air," ujar Jopuro.
Merdeka.com, Banyuwangi - Warga Dusun Rejopuro, Desa Kampunganyar, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi punya tradisi unik Ithuk-ithukan, yakni menikmati tumpeng bersama sebagai simbol syukur kepada Tuhan, sekaligus wujud bersih desa. Dalam tradisi ini, ribuan nasi pincuk dan puluhan tumpeng diarak keliling desa untuk kemudian dinikmati bersama.
Ketua Adat Desa Jopuro Sarino mengatakan bahwa setiap tradisi Ithuk-ithukan digelar, semua masyarakat tidak boleh ada yang sampai kelaparan. Tradisi ini, digelar rutin setiap tahun pada tanggal 11- 12 Dzulqa'dah yang jatuh pada hari Rabu.
"Pada hari ini, saat acara ini jangan sampai ada warga yang merasa lapar. Selain wujud syukur ini juga untuk mempererat persaudaraan degan saling berbagi," kata Sarino, di sela pagelaran tradisi Ithuk-ithukan di tengah perkampungan warga, Rabu (25/7).
Tradisi ithuk-ithukan dimulai dengan doa bersama di area perkampungan warga. Puluhan ibu-ibu satu per satu kemudian mengangkat tumpeng dan nasi untuk di arak keliling kampung. Perjalanan berakhir di dekat sumber mata air.
"Nasi dibagikan kepada semua warga kemudian di makan di sebelah sumber mata air," ujarnya.
Menu tumpeng berisi masakan khas desa seperti sayur pakis, terong, sambal, dilengkapi lauk ayam peteteng, berupa ayam utuh yang dibakar. Semua dikemas dengan daun pisang segar.
Sebagai bentuk persaudaraan, agar semua orang bisa menikmati, warga yang sedang sakit akan diberi makanan dengan piring tanpa harus dikembalikan.
Dusun Rejopuro, punya makna Rejo berarti ramai sementara Puro yang berarti sepuro atau memaafkan. Nama ini diharapkan agar desanya selalu ramai dan penuh berkah karena saling memaafkan.
"Selain ramai semoga disepuro sama Allah. Sumber mata air kami yang melimpah. Tradisi ini juga untuk menjaga mata air, sebagai salah satu sumber kehidupan," jelasnya.
Usai makan bersama, tradisional Ithuk-ithukan diisi dengan hiburan musik kuntulan dan pembacaan lontar.
Sementara itu, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menyampaikan, pemerintah daerah telah banyak belajar banyak dengan nilai-nilai yang dilestarikan langsung dari masyarakat. Maka pihaknya tidak ingin memberikan intervensi terkait kegiatan adat tradisi yang digelar Pemkab Banyuwangi.
"Dulu saya ke sini dua tahun lalu. Saya mencari inspirasi, belajar dari mereka juga. Karena ini tumbuh dari bawah perlu dilestarikan, dan selalu ada nilai-nilai. Festival biasanya hari libur, tapi kalau tradisi tidak bisa digeser, dan pemda mengikuti jadwal tradisi mereka," kata Anas.
Anas berharap, kegiatan tradisi yang bisa memikat kunjungan wisatawan bisa memberi nilai manfaat ekonomi bagi masyarakat.
"Ini kegiatan murni partisipasi dari masyarakat. Semoga memberi nilai manfaat, dan bisa berdampak ke pariwisata," katanya.