"Pemerintah daerah perlu sewaktu-waktu mengikuti adat dan budaya masyarakat," kata Anas.
Merdeka.com, Banyuwangi - 77 even dalam rangkaian Festival Banyuwangi 2018 merupakan acara kreasi baru dan pengangkatan tradisi-tradisi lama yang tumbuh di Bumi Blambangan. Masyarakat adat, dengan pendampingan Pemkab, menjadi
penyelenggara di even festival berbasis tradisi di desa-desa.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan pemerintah daerah perlu mengikuti acara tradisi untuk mendekat pada masyarakat. Jadwal acara hingga tahapan-tahapan kegiatan juga tetap mengikuti ketentuan adat demi menghormati budaya masyarakat setempat.
Hal itu dijelaskannya dalam acara Festival Etuk-etukan yang digelar di Dusun Rejopuro, Desa Kampung Anyar, Kecamatan Glagah, hari ini, Rabu (25/7).
"Pemerintah daerah perlu sewaktu-waktu mengikuti adat dan budaya masyarakat. Misalnya Festival Etuk-etukan ini, kalau biasanya digelar 12 Dzulhqa’dah, seperti hari ini, agenda tidak akan diubah, tetap kita hadiri walau bukan akhir pekan," kata Anas.
Festival Etuk-etukan sendiri merupakan bentuk rasa syukur masyarakat atas kekayaan alam dan keselamatan lahir batin yang selama ini didapatkan. Nasi dengan sayur dan lauk menu lokal dalam wadah daun pisang yang biasa disebut etuk dibawa warga keliling kampung, kemudian dibawa ke area mata air sebagai hidangan selamatan desa.
Mata air besar yang dimiliki Kampung Jopuro juga menjadi potensi lokal yang kini dikembangkan, diantaranya kolam wisata dan budidaya air tawar. Budidaya sidat atau yang di Banyuwangi sering disebut uling, oleh warga Jopuro, telah berjalan 2 bulan terakhir dengan pendampingan dari TNI AL.
Komandan Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Danlantamal) V Kolonel Laut (P) Edwin, mengatakan sidat merupakan jenis ikan yang berkembang biak di air payau, namun tumbuh besar di air tawar. Pembibitannya sendiri hanya bisa dilakukan secara alami sehingga hanya bisa dilakukan dengan menangkap sidat bayi di muara.
Dia mengatakan akan terus melakukan pembinaan dari urusan bibit hingga urusan pemasaran pada kelompok pembudi daya ikan di Jopuro. Pada umumnya panen sidat dilakukan 6 bulan setelah bibit dilepas, dan bisa dijual dengan harga Rp 60 ribu di pasar lokal.
"Di sini potensi air bersih melimpah, karena sidat membutuhkan air bersih untuk hidup dan tumbuh. Masyarakat juga sangat mudah diajak berkolaborasi. Ini akan kita buat masif di daerah-daerah lain juga, dengan nama program Sidawangi," kata Edwin.
Sementara itu Kepala Desa Karang Anyar Latifah mengatakan permintaan sidat di pasar lokal sangat tinggi. Sebelumnya banyak warung di Kampung Anyar tidak bisa melayani menu-menu berbahan sidat, padahal pesanan dari para pembeli sangat banyak.
"Dia kan berkembang biak di laut, lalu naik ke pegunungan untuk tumbuh membesar. Selama ini proses alaminya seperti itu, jadi di atas sini dia sudah besar, tinggal ditangkap. Sekarang dengan budidaya ini diharapkan pasokan bisa rutin dan stabil. Permintaan pasar lokal sangat banyak," katanya.