1. BANYUWANGI
  2. SENI DAN BUDAYA

Arakan kuda, tradisi Puter Kayun untuk hargai leluhur warga Banyuwangi

"Kegiatan ini rutin dalam rangka nguri-nguri budaya, untuk meneruskan silaturahmi Buyut Jokso," kata Ihrom.

Tradisi Puter Kayun Banyuwangi. ©2017 Merdeka.com Reporter : Mohammad Ulil Albab | Selasa, 04 Juli 2017 19:13

Merdeka.com, Banyuwangi - Setiap tanggal 10 syawal, warga Boyolangu, Kecamatan Giri, Kabupaten Banyuwangi, selalu rutin menggelar tradisi Puter Kayun. Sebuah tradisi untuk menghargai Buyut Jaksa yang telah berhasil menjebol Gunung Watu Dodol untuk proyek jalan era Bupati pertama Banyuwangi, Mas Alit tahun 1774.

Muhamad Ihrom, Ketua Adat Kelurahan Boyolangu, mengatakan tradisi Puter Kayun selalu rutin diselenggarakan sejak ratusan tahun lalu, dan turun temurun hingga saat ini.

"Kegiatan ini rutin dalam rangka nguri-nguri budaya, untuk meneruskan silaturahmi Buyut Jokso yang telah berjasa menjebol Watu Dodol," ujarnya usai membuka tradiis Puter Kayun, Selasa (4/7).

Tradisi Puter Kayun, dilaksanakan dengan menghiasi kuda-kudanya untuk dinaiki bersama menuju Watu Dodol yang berjarak 9 kilometer. Sesampai di sana, warga kemudian menggelar tumpeng untuk dimakan bersama, tepat di samping gunung yang berhasil dijebol Buyut Jakso bersama masyarakat.

Buyut Jokso dikisahkan secara turun temurun sebagai Penasehat Pendopo era Pemerintahan Mas Alit. Saat Pemerintah Kolonial Belanda gagal menjebol Gunung Watu Dodol yang telah menghalangi proyek jalan menuju Baluran, Situbondo. Karena tidak sanggup menjebol Gunung Watu Dodol, pihaknya kemudian meminta bantuan Mas Alit.

"Belanda melalui Mas Alit mengadakan sayembara mencari siapa yang bisa mendodol," katanya.

Buyut Jokso yang ditunjuk akhirnya, meminta semua lapisan masyarakat termasuk Pemerintah Kolonial Belanda untuk membongkar. Kemudian harus mengunjungi dan melakukan selamatan di Watu Dodol. "Makanya disebut watu dodol, karena didodol (dijebol) itu," katanya.

Sementara arak-arakan yang menggunakan andong karena Buyut Jokso memiliki kuda. Warga Boyolangu sendiri mayoritas juga banyak yang menjadi delman.

"Sekarang semakin sedikit, kalah dengan transportasi lain. Tahun 2000 itu masih ada 30-35," ujarnya.

(MT/MUA)
  1. Seni dan Budaya
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA