1. BANYUWANGI
  2. SENI DAN BUDAYA

Punah, Angklung Caruk bernuansa santet dipopulerkan lagi oleh Slamet

Kesenian yang sudah ada sejak era pendudukan Jepang tersebut akan dikemas dengan lebih lunak oleh Slamet, mantan seniman Lekra.

Slamet Abdul Rajat. ©2016 Merdeka.com Reporter : Mohammad Ulil Albab | Rabu, 16 Maret 2016 10:29

Merdeka.com, Banyuwangi - Sanggar Seni Angklung Soren, yang mulai didirikan oleh Slamet Abdul Rajat, akan mengenalkan 'Angklung Caruk' kepada masyarakat Banyuwangi. Kesenian yang sudah ada sejak era pendudukan Jepang tersebut akan dikemas dengan lebih lunak. Tidak ada lagi nuansa mistis seperti santet dalam pagelaran Angklung Caruk.

Slamet menjelaskan, Angklung Caruk merupakan perpaduan musik angklung dari dua tim musik yang saling berhadapan. Masing-masing tim musik angklung akan bermain dengan rancak, beradu kecepatan. "Harusnya mainnya, bergantian, tapi karena emosi biasanya terus dimainkan, gak ada yang mau berhenti," kata Slamet.

"Di samping beradu musik, Angklung Caruk juga disisipi santet. Maka para pemainnya ada yang tiba-tiba lemas. Para penonton juga antusias, ada yang menaruh aduan, dan saling bersorak." tuturnya, saat ditemui Merdeka Banyuwangi di rumahnya Jalan Widuri, Gang Anggrek, Sukorejo, Kelurahan Banjarsari, pada Selasa (15/3).

Angklung Caruk sudah mulai hilang sejak 1970-an, akibat mulai maraknya musik-musik elektone. Angklung Caruk biasa diselenggarakan saat perayaan acara pernikahan, khitanan dan bentuk undangan lainnya. "Kalau nyewa, tari Gandrung atau Angklung Caruk kan mahal. Jadi mulai banyak yang memilih elektone, karena lebih murah," ujarnya.

Tanpa maksud menghilangkan kebudayaan asli Angklung Caruk, Slamet ingin mengenalkan dengan konsep berbeda dan mudah diterima masyarakat saat ini. "Jadi nantinya hanya tanding nada. Bagus-bagusan bermain Angklung," ujarnya.

Saat ini, Sanggar Angklung Soren masih dalam proses pembuatan sejak awal tahun ini dan rencananya akan selesai pada April mendatang. Sanggar ini tidak hanya melestarikan Angklung Caruk, melainkan juga tarian tradisional yang sudah mulai hilang.

Di usianya yang sudah mencapai 75 tahun, Slamet ingin mengenalkan kesenian Banyuwangi yang sudah mulai hilang. Atau bisa dikatakan sudah tidak ada. "Jadi tujuan saya itu untuk melestarikan dan mengenalkan pada generasi muda. Sebenarnya tarian Banyuwangi itu kaya," tuturnya.

Slamet merupakan bekas Anggota Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang tergabung dalam kelompok Seni Rakyat Indonesia Muda (Sri Muda). Dia sudah banyak menciptakan tari-tarian tradisional dari lagu-lagu rakyat Banyuwangi, seperti tari Nandur Jagung, Seduluran, Keloron-loron, Padang Mbulan, Jaran Goyang, Waru Doyong, Jaring Kambang, Layangan Pedot, Nyebar Jolo, Cengkir Gading, Unting-unting dan Perawan Sunte. Jumlahnya ada 12 tari.

Pada 1966, dia juga aktif di Lembaga Kesenian Nasional di bawah naungan Partai Nasional Indonesia (PNI). Setelah vakum, dia melanjutkan keseniannya hingga tahun 1980-an.

(MT/MUA)
  1. Seni dan Budaya
  2. profil
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA