Festival Kuwung tahun ini mengambil tema 'Mekar Semebyar Tamansari Nusantara'.
Merdeka.com, Banyuwangi - Ribuan penonton memadati sepanjang jalanan utama Banyuwangi, pada Sabtu malam (9/12). Dari sepanjang Jalan Ahmad Yani hingga ke Taman Blambangan, mereka antusias menyaksikan Festival Kuwung, salah satu festival kesenian tertua di Banyuwangi.
Sebagai festival yang paling tua di Banyuwangi, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengharapkan, Festival Kuwung bisa menyajikan kekayaan pesona budaya Banyuwangi. "Tidak hanya menyajikan satu jenis kesenian seperti halnya pada bagian festival lainnya, tapi bisa menyajikan aneka ragam kesenian Banyuwangi dalam satuan pertunjukan dan cerita menarik," kata Anas saat membuka acara.
Festival Kuwung tahun ini mengambil tema 'Mekar Semebyar Tamansari Nusantara'. Dengan menyajikan sendratari kolosal, tema ini menceritakan sejarah panjang Banyuwangi. Mulai dari era Kedaton Wetan yang menjadikan Banyuwangi bagian dari Kerajaan Majapahit hingga masa perlawanan era modern dimana Banyuwangi menjadi kabupaten di bawah kepemimpinan bupati pertama, Mas Alit.
Sejarah yang membentang lebih dari enam abad lamanya itu, ditampilkan dalam alur cerita yang terbagi dalam enam fragmen. Fragmen pertama mengambil tema 'Bre Wirabumi Nagih Paugeran' yang menceritakan konflik Kerajaan Majapahit pasca mangkatnya Pangeran Hayam Wuruk. Bre Wirabumi yang semestinya menjadi pengganti, diserobot oleh Wikrimawardana. Hal ini, lantas membuat Bre Wirabumi menuntut 'paugeran' alias tatanan yang semestinya berlaku.
Pertikaian keduanya itu, kemudian membelah Majapahit menjadi Kedaton Kulon dan Kedaton Wetan. Dari Kedaton Wetan yang dipimpin oleh Bre Wirabumi inilah, menjadi asal-muasal dari lahirnya Kerajaan Blambangan.
Fragmen kedua mengambil judul 'Purnama di Bumi Blambangan'. Sekuel ini, menceritakan tentang masuknya agama Islam yang dibawa oleh Syekh Maulana Ishaq di Blambangan. Dengan mengelaborasi tari Rodat Syiiran, fragmen ini terasa pas. Tari Rodat yang bernuansa islami, cocok untuk menggambarkan kegigihan Maulana Ishaq menyebarkan Islam di ujung Timur Pulau Jawa tersebut.
Disusul kemudian dengan fragmen ‘Payung Agung Prabu Tawangalun’. Sebagaimana judulnya, babak ini menceritakan tentang kebesaran Kerajaan Blambangan di bawah kepemimpinan Prabu Tawangalun. Dengan diorama pertempuran yang dikemas apik, menceritakan kehebatan Blambangan menghadapi gempuran Kerajaan Mataram dari sisi Barat dan Kerajaan Mengwi, Bali dari Timur.
Kehebatan Blambangan ternyata mengundang banyak pihak yang ingin menguasainya. Setelah Kerajaan Mataram tak mampu menguasai Blambangan, sebagaimana diceritakan dalam fragmen ‘Agunge Wong Agung Wilis’, kini giliran penjajah Belanda yang ingin merebutnya. Di bawah komando Wong Agung Wilis, Belanda yang mulai mendarat di Pelabuhan Banyualit, digempur habis-habisan.
Nuansa heroisme yang masih begitu kental pada fragmen-fragmen selanjutnya. Setelah era Wong Agung Wilis, fragmen selanjutnya beralih pada judul ‘Jogopati Belo Pati’. Babak ini menceritakan sengitnya perlawanan rakyat Blambangan melawan penjajah. Di bawah kepemimpinan Rempeg Jogopati dan Sayu Wiwit, rakyat Blambangan melakukan perang puputan. Peperangan yang memuncak pada 18 Desember 1771 itulah yang menjadi hari lahir Banyuwangi.
Di penghujung fragmen, mengangkat tentang ‘Bedah Alas Tirtaganda’. Fragmen yang memodifikasi tarian gandrung sebagai media berceritanya tersebut, mengkisahkan perubahan Blambangan menjadi Kabupaten Banyuwangi. Di bawah kepemimpinan Mas Alit, pusat pemerintahan yang sebelumnya di Benculuk dipindah ke Tirtaganda alias Banyuwangi.
Selain fragmen-fragmen utama di atas, Festival Kuwung kali ini juga dimeriahkan oleh kontingen kebudayaan dari luar daerah. Ada seni jaranan dan singo barong dari Kota Kediri dengan judul ‘Songgo Langit Patemboyo. Adapula tarian barong Banaspati Raja dari Kabupaten Gianyar dan seni musik Bala Ganjur Bala Gora dari Kabupaten Jembrana, Bali. Sedangkan dari Kabupaten Kediri yang ikut memeriahkan, menampilkan sendratari berjudul Panji Sumirang.