1. BANYUWANGI
  2. SENI DAN BUDAYA

Menyelami karya-karya seniman Slamet Abdul Rajat

Banyak tarian tradisional Banyuwangi ciptaan Slamet memiliki nilai filosofis.

©2016 Merdeka.com Reporter : Mohammad Ulil Albab | Rabu, 16 Maret 2016 14:14

Merdeka.com, Banyuwangi - Beberapa tarian tradisional Banyuwangi yang diciptakan oleh seniman Slamet Abdul Rajat memiliki nilai filosifis. Setiap gerakan yang dialunkan, selalu memiliki makna tersendiri, sesuai iringan syair lagu.

Sambil memperagakan gerakan, Slamet menjelaskan beberapa di antaranya gerakan tarian lagu Jaring Kambang. Untuk mendiskripsikan nelayan sedang menebar jala, kedua tanggannya melenggang selayaknya orang sedang menebar jala. Tubuhnya naik turun menyesuaikan suasana nelayan di atas perahu yang terkena ombak.

“Yo ayo mlaku nang pesisir, yo ayo mlaku nang pesisir, runtang-runtung nggowo jaring lan dayung, nyawang laut meneng ombake, gawe roso seneng atine, Yo ayo didayung jukunge, Yo ayo didayung jukunge, jukunge berangkat alon-alon lakune, nyawang laut akeh iwake, lemuru, tamban, semprit ono kabeh,” nyanyian Slamet, sambil memperagakan gerakan tari lagu Jaring Kambang.  

(Yo ayo berjalan ke pesisir, berduyun membawa jala dan dayung/Melihat laut diam ombaknya, membuat rasa hati menjadi senang/Yo ayo didayung perahu jukungnya/jukungnya berangkan pelan-pelan jalannya/melihat laut banyak ikannya, lemuru, tamban semprit ada semua)

“Di perahu itu lautan, kan berombak. Jadi ini ndayung. Terus ini narik layar, dan yang ini nyebar jaring,” jelasnya kepada Merdeka Banyuwangi, di rumahnya Jl. Widuri, Gang Anggrek, Sukorejo, Kelurahan Banjarsari, pada Selasa (15/3).

Setelah pita kaset dalam tape-nya bergeser ke lagu Genjer-genjer, Slamet tanpa ragu-ragu kembali menyanyikan beberapa potong baitnya. Menurutnya, lagu Genjer-genjer diciptakan Lekra sejak era pendudukan Jepang. Untuk menggambarkan kondisi petani Banyuwangi yang sedang bertahan menghadapi kebijakan ketahanan pangan.

Genjer yang pada mulanya hanya menjadi gulma dan makanan ternak, sejak era pendudukan Jepang menjadi makanan alternatif masyarakat Banyuwangi. Lagu ciptaan Muhamad Arief ini menjadi kontroversi dan sempat dilarang sejak Orde Baru berkuasa.

Slamet menjelaskan filosofi tari Genjer-genjer dengan gerakan petani yang sedang mengambil genjer. Setelah itu beberapa genjer yang sudah didapat diuntingi (diikat) untuk kemudian dibawa pulang.

Di usianya yang sudah mencapai 75 tahun, Slamet ingin mengenalkan kesenian Banyuwangi yang sudah mulai hilang. Atau bisa dikatakan sudah tidak ada.

“Jadi tujuan saya itu untuk melestarikan dan mengenalkan pada generasi muda. Sebenarnya tarian Banyuwangi itu kaya,” tuturnya.

(MH/MUA)
  1. Seni dan Budaya
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA