1. BANYUWANGI
  2. INFO BANYUWANGI

Generasi muda Banyuwangi lestarikan tradisi mocoan lontar

"Saat ini tinggal 9 orang yang fasih membaca Lontar Yusuf, jadi perlu ada regenerasi dari pemuda untuk menjaga tradisi ini," kata Adi.

Generasi muda Banyuwangi. ©2018 Merdeka.com Reporter : Mohammad Ulil Albab | Kamis, 04 Oktober 2018 16:13

Merdeka.com, Banyuwangi - Belasan pemuda di Kabupaten Banyuwangi serempak membaca naskah bertuliskan arab pegon berbahasa Jawa Kawi (jawa kuno). Meski tidak akrab dengan budaya tutur sehari-hari, bahasa Jawa Kawi yang dibaca, terus coba dilafalkan. Generasi dengan kelompok usia millenial tersebut berupaya belajar membaca Lontar Yusuf yang sudah menjadi tradisi masyarakat Using sejak abad 19.

Adi Purwadi, pengajar mocoan Lontar Yusuf mengatakan, saat ini pembaca Lontar Yusuf yang fasih di Banyuwangi sudah mulai habis. Dia berharap, generasi muda yang dia ajari bisa menjadi penerus pelantun Lontar Yusuf.

"Saat ini tinggal 9 orang yang fasih membaca Lontar Yusuf, jadi perlu ada regenerasi dari pemuda untuk menjaga tradisi ini," kata Adi Purwadi, di sela mengajar mocoan (membaca) Lontar Yusuf di Lingkungan Cungking, Kelurahan Mojopanggung, Banyuwangi, pekan lalu.

Mocoan (membaca) Lontar Yusuf seringkali dibaca setiap pagelaran ritus bersih desa seperti Seblang Bakungan, Ider Bumi Kemiren. Lontar Yusuf berisi tembang kesusastraan yang mengisahkan Nabi Yusuf.

Belajar mocoan Lontar Yusuf digelar rutin setiap dua minggu sekali. Setiap mocoan lontar, beragam makanan dan jajanan tradisional dengan simbol doa, selalu disajikan seperti jenang, nasi gulung dan tumpeng. Adi memberi materi dengan serius, setiap detail lontar yusuf yang dibacakan harus ditirukan dengan tepat, mulai dari cengkok hingga panjang pendek pelafalan. Namun Adi sesekali juga mengajarkan dengan santai agar tidak terlalu tegang.

"Apa ada guru seperti saya kalau lagi baca lontar yusuf bisa sambil tertawa-tertawa seperti ini Rek," ujar Adi. Lantunan pembacaan lontar Yusuf memang terasa sakral, terutama saat dibaca dengan serius. Mocoan lontar Yusuf, biasa digelar semalam suntuk dan dibaca secara bergantian.

Akbar Wiyana (27), salah satu peserta mocoan Lontar Yusuf mengaku senang bisa mengenal dan belajar membaca lontar. Sebelumnya, dia hanya sering mendengar pembacaan Lontar Yusuf tanpa mengetahui cara membacanya. "Pengen tahu bagaimana cara baca lontar yusuf. Ini juga budaya yang jarang diketahui anak muda. Jadi saya Ingin belajar," kata Akbar.

Peserta lainnya, Widi Nurmahmudy yang tinggal di kawasan masyarakat Using di Kalipuro ingin belajar dari rasa penasaran. "Sering mendengar orang-orang tua membaca Lontar Yusuf, meski belum tahu arti bahasanya, saya penasaran ingin mengenal lebih jauh. Setelah belajar, saya akan tularkan ke Anak-anak di komunitas rumah baca saya," kata Widi yang memiliki pendidikan alternatif untuk Anak-anak di Kalipuro.

Sejarawan Banyuwangi, Suhailik (56) menambahkan, bacaan Lontar Yusuf mulai populer di Banyuwangi pada akhir abad 19, saat Kerajaan Blambangan diserang Mataram, seiring islamisasi mulai masuk. Lontar Yusuf, kata Suhailik, cukup populer karena menjadi bagian penyebaran agama Islam dengan pendekatan budaya masyarakat yang sudah terbiasa dengan bacaan tembang Jawa, seperti Macapat.

"Kebiasaan baca tembang Jawa, salah atunya Macapat. Itu dasarnya, local genius. Karena budaya tutur lebih kuat untuk edukasi, salah satunya ya lewat tembang supaya menarik didengarkan. Tahun 1840, di Cungking itu masih banyak yang beragama Hindu, dari laporan Van Der Tuuk, ahli Linguistik asal Belanda," kata Suhailik.

Dari temuannya, teradapat sumber yang menyebut pada tahun 1829 tradisi bacaan Lontar Yusuf mulai ditulis dengan arab pegon pada tahun 1829 di kalender Jawa atau tahun 1895 pada kalender Masehi. Sementara bahasa Jawa Kawi sudah digunakan masyarakat di Blambangan sejak era kerajaan Majapahit.

"Bahasanya Kawi, Bahasa Majapahit. Tahun 1829 tahun jawa, yang pertama nyerat (nulis) namanya Carik Jannah. Lewat jalur seni Islamisasi efektif. Semua acara desa pakai lontar yusuf, itu seluruh Banyuwangi," terangnya.

Namun saat ini, kata Suhailik, tradisi mocoan Lontar Yusuf saat ini hanya bertahan di lingkungan masyarakat Using. Sementara di Pulau Jawa, terdapat lontar lain seperti Ahmad dan Ambiyak. "Ini kan dinilai sastra suci. Jadi lontar ada macamnya, ada Lontar Ahmad, Ambiyak, dan Lontar Yusuf yang paling populer di Banyuwangi. Sekarang pembacanya mulai berkurang karena modernisasi dan pembacanya sudah sepuh-sepuh," terangnya.

Terakhir, Lontar Yusuf pernah berupaya dipopulerkan kembali melalui penampilan komedi lokal Banyuwangi bernama Pacul Goang yang diperankan Ramli dan Bek Onah di tahun 1980-an. Sebelum tampil Lontar Yusuf bakal dibaca terlebih dahulu. Kali ini, Lontar Yusuf coba didekatkan kembali kepada generasi muda lewat belajar membaca bersama. Belajar Mocoan Lontar Yusuf akan kembali digelar di Desa Kemiren pada, Sabtu (6/9).

(ES/MUA)
  1. Seni dan Budaya
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA