1. BANYUWANGI
  2. INFO BANYUWANGI

Harga murah dan tingginya impor, luas tanam kedelai Banyuwangi berkurang

"Saya rasa bukan untuk Banyuwangi, karena kita sudah memberi kontribusi untuk kebutuhan nasional, karena sudah surplus," ujar Arief.

©2018 Merdeka.com Reporter : Mohammad Ulil Albab | Selasa, 18 September 2018 14:58

Merdeka.com, Banyuwangi - Dinas Pertanian Kabupaten Banyuwangi mencatat, produktivitas tahun ini, diprediksi cenderung mengalami penurunan. Meski demikian, bila dihitung berdasarkan kebutuhan lokal kedelai yang mencapai 12,075 ton per tahun, produksi kedelai Banyuwangi masih terhitung surplus.

Kepala Dinas Pertanian Banyuwangi, Arief Setiawan menjelaskan, produktivitas kedelai Banyuwangi rata-rata 18,36 kwintal per hektar. Sementara dari luas tanam rata-rata 27.373 hektar per tahunnya, produksi kedelai dalam lima tahun terakhir rata-rata mencapai 50.455 ton per tahun.

"Dari rata-rata produktivitas 50.455, kalau dikurangi dengan kebutuhan konsumsi kita 12,075 ton per tahun, masih surplus 38.360 ton. Namun karena harga rendah dan produsen cenderung menggunakan kedelai impor, petani menanam jenis yang dinilai lebih tinggi peluangnya," kata Arief saat ditemui di kantornya, Senin (17/9).

Arief mengatakan, harga kedelai lokal di tingkat petani saat ini mencapai Rp 6.500 per kilogram, sementara kedelai super Rp 7.000 per kilogram. Sementara produsen pembuat tempe, kripik dan tahu kata Arief, cenderung memilih kedelai impor yang memiliki bulir lebih besar dan dinilai lebih bagus. Meski harga kedelai impor selisih lebih mahal, Rp 7.500 per kilogram.

"Mengapa di Banyuwangi produk kedelai menurun, pertama petani itu kan menginginkan hasil yang tinggi. Sementara kedelai dengan harga rendah tidak bisa jadi nilai tambah. Kita juga berkompetensi dengan kebutuhan produsen yang lebih menggunakan produk impor," kata dia.

Arief melanjutkan, perlu adanya proteksi dari pemerintah pusat terkait impor produk hortikulutur. Dari data balai karantina 2018 yang didapat, setiap tiga bulan sekali terdapat 45.000 ton kedelai impor yang masuk ke gudang-gudang Bulog Banyuwangi.

"Saya rasa bukan untuk Banyuwangi, karena kita sudah memberi kontribusi untuk kebutuhan nasional, karena sudah surplus," ujarnya.

Produksi kedelai pada tahun 2016 di Banyuwangi dengan luas panen 23.750 telah mencapai 40.154 ton dengan produktivitas rata-rata 16.91 kwintal per hektarnya. Sementara di tahun 2017, produksi kedelai di Banyuwangi meningkat menjadi 45. 738 ton.

Namun di tahun ini, produksi kedelai diprediksi cenderung menurun menjadi 31.270 ton. Hingga Agustus, luas panen kedelai mencapai 18.952 hektare, semakin sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya.

"Ini data sampai bulan Agustus, memang cenderung turun," jelasnya.

Sementara itu, produsen tempe asal Desa Gintangan, Kecamatan Blimbingsari, Ademi (65) mengatakan, setiap hari dia membutuhkan hingga dua kwintal kedelai jenis impor. Ademi sudah membuat tempe yang dibungkus dengan daun pisang sejak puluhan tahun lalu.

"Saya generasi ketiga bikin tempe yang dibungkus dengan daun pisang. Saya lebih pilih kedelai impor karena lebih besar. Kalau kedelai lokal bijinya kecil, sampahnya banyak (residu)," kata Ademi saat ditemi di rumahnya.

Ademi melanjutkan, meski harga kedelai impor pernah naik hingga Rp 9 ribu per kilogram, dia tetap menggunakan kedelai impor. Ademi memilih menaikkan dan menurunkan harga tempe sesuai harga kedelai.

"Takarannya tetap, tidak saya kurangi, soalnya pelanggan sudah banyak. Per setengah kilo jadi tempe, dijual Rp 4000," ujarnya.

Tempe berbungkus daun buatan ademi yang lebih ramah lingkungan, sudah memiliki pelanggan hingga ke Bali.

"Dikirim ke Wongsorejo, sampai Bali. Pernah ada TKI yang pesan juga untuk dikirim ke Malaysia dan Thailand," katanya.

 

(ES/MUA)
  1. Info Kota
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA