Tentrem berasumsi, harga sepeda ontel saat ini semakin murah. Akibat banyaknya pengguna kendaraan bermotor.
Merdeka.com, Banyuwangi - Tentrem (60), pedagang sepeda ontel kuno buatan Belanda di Kampung Songo, Dusun Kaliwungu, Tegaldlimo, punya banyak cerita. Terutama tentang sepeda ontel yang masih menjadi primadona masyarakat.
Meski saat ini sepeda ontel terbilang murah, akibat setiap orang bergeser menggunakan sepeda motor. Tentrem mengatakan, pada 1966-1970-an, harga sepeda ontel ada yang setara dengan sawah seper empat hektare sawah. Ada juga setara dengan seekor sapi.
"Dulu itu orang tani kalau ingin punya sepeda, ditukar dengan sawah seper empat. Kadang ya ditukar sama satu ekor sapi," kata Tentrem kepada Merdeka Banyuwangi, Sabtu (9/4).
Bila dibandingkan, kata Tentrem, harga sawah saat ini bisa sampai 100 juta lebih seper empat hektarnya. Sedangkan harga sepeda ontel merek Gazelle yang paling mahal, mencapai 25 juta.
Dari situ Tentrem berasumsi, harga sepeda ontel saat ini semakin murah. Akibat banyaknya pengguna kendaraan bermotor. Meski akhir-akhir ini, kata dia, sudah mulai banyak penggemar sepeda ontel.
Di rumah Tentrem, ada beragam merek sepeda ontel peninggalan Belanda. Ada merek Royal Super De Luxe berlogo Singa. Ada juga merek Locomotief Amsterdam, The Mister, Batavus berlogo seorang membawa senjata pentungan dan, IKPN Deluxe Turangga All Styl Cycle (logo gambar kuda). Ada juga merek Norton, produksi India dan Phoenix.
"Sekarang wes mulai sedikit, yang lain sudah laku. Biasanya di sini banyak, ada merek Simplex juga," ujarnya.
Tentrem sudah jualan sepeda ontel bekas sejak tahun 1975. Dia sendiri masih menyaksikan bagaimana sepeda ontel masih setara dengan harga sapi dan sawah. Dia sendiri juga pernah melakoni hal tersebut. Meski usahanya jatuh bangun.
"Jadi keliling ke rumah-rumah petani. Pokoknya yang punya sawah ditawari sepeda. Nanti ditawari kalau mau sepedanya ditukar sama sawahnya. Sepeda, Simplex, Batavus, Master, lak ndue sapi kon ngijoli sapi," tutur Tentrem.
Usaha Tentrem jatuh bangun akibat di era 1965-1970, Indonesia masih berupaya bangkit dari krisis ekonomi. Bila usaha jualan sepeda bekasnya macet, Tentrem melakoni segala pekerjaan. Mulai dari jualan anyaman bambu, kayu dan garam yang diambil dari pasar Muncar.
"Itu tahun 65-an, jadi wong ndue pedah bar Gestapu. (orang punya sepeda setelah G 30 S) Sebelumnya jarang orang punya sepeda. Tahun 1975 aku buka jualan sepeda. Jualan rumput pernah, bawang merah, garam, kulakannya di Muncar," ujar Bapak dari lima anak ini.
Saat ini, di usianya yang sudah 60 tahun, Tentrem seringkali mendapatkan sepeda kuno peninggalan Belanda dari para petani. "Sebab, biyen wong tani tuku sepeda mesti ijole sawah atau sapi (dulu petani beli sepeda pasti ditukar sawah atau sapi)," ujarnya.