"Waktu kuliah di Malang, pada akhir 2009-an saya mulai mengenal kopi non-sachet dengan mencicipi Kopi Dampit Malang," kata Danial.
Merdeka.com, Banyuwangi - Seiring banyaknya jumlah wisatawan yang datang ke Banyuwangi, kondisi pasar melihat hal tersebut sebagai peluang untuk membuka bisnis cafe. Namun merebaknya jumlah cafe di kota berjuluk The Sunrise of Java tersebut tak banyak yang menyuguhkan suasana layaknya berada di rumah sendiri. Seperti yang dapat dirasakan pengunjung di Kemunir Cafe.
Dengan konsep homey, cafe yang berada di Jalan Penataran 49 Banyuwangi tersebut menyajikan suasana bak ngopi di rumah sendiri. Kemunir Cafe memiliki ciri khas dengan bangunan peninggalan kolonial Belanda. Kesan vintage pun kian terasa dengan kondisi bangunan yang sama sekali tidak mengalami pemugaran.
Selain itu, keunggulan cafe milik Danial Sofyan tersebut menawarkan ragam kopi nusantara yang berasal dari segala penjuru pulau. Hal tersebut bermula akan kecintaannya pada keunikan kopi khas tanah air. "Suka kopi karena hobi ngopi. Waktu kuliah di Malang, pada akhir 2009-an saya mulai mengenal kopi non-sachet dengan mencicipi Kopi Dampit Malang," ujar pria yang akrab disapa Dani tersebut.
Sejak menikahi pada 2013, Dani bercita-cita memiliki cafe dengan suguhan kopi-kopi nusantara. Hingga pada awal 2016, Kemunir Cafe mulai ia perkenalkan kepada masyarakat Banyuwangi. Di sana terdapat berbagai macam jenis kopi.
Seperti kopi asal Sumatra yang terkenal dengan jenis Kopi Gayo, Kopi Sipirok, dan Kopi Mandheling, Jawa Barat dengan Kopi Puntang, Jawa Tengah dengan jenis Kopi Sindoro, Jawa Timur dengan kopi asal Pegunungan Arjuno, Kopi Kintamani asal Bali, Sulawesi dengan Kopi Toraja, hingga kopi asal Flores dan Papua. Untuk kopi lokal Banyuwangi, Kemunir memiliki jenis kopi robusta seperti Kopi Telemung, Kalibendo, Malangsari, Ijen dan Raung.
"Awalnya kami sangrai (biji kopi) pakai wajan. Waktu itu kebetulan banyak yang order, pernah sampai 4 kilogram. Capek lama-lama, sedangkan kopi itu kan rasanya dipengaruhi oleh si pembuatnya ya, pas capek kan mood jelek. Akhirnya sekarang pakai mesin," ungkap Dani kepada Merdeka Banyuwangi.
Menurut dia, mayoritas penikmat kopi di cafe miliknya sering memesan single origin Ijen dan Raung. Namun berbicara peminatan citarasa pada kopi, ujar Dani, sangat dipengaruhi oleh iklim di suatu daerah. Seperti efek curah hujan atau cuaca, sampai pada proses panen, pasca-panen, proses penjemuran, hingga pada penyajian akhir pada proses penyeduhan kopi.
"Di sini kami tawarkan kopi yang fresh. Misalkan dalam satu bulan enggak habis, kita keluarkan. Kita ganti dengan kopi yang baru. Namun selama ini alhamdulillah selalu habis," ujar Dani sembari tertawa.
Untuk pembuatan kopi ekspresso, Kemunir Cafe mampu menghabiskan kopi sekitar 10 hingga 14 kilogram. Sedangkan pembuatan single origin mampu mencapai rata-rata 5 kilogram. Dani mengaku total kopi yang ia produksi mencapai 20 kilogram setiap bulan.
Selain menyajikan kopi dengan teknik manual brewer seperti pada alat Vietnam Drip, ada pula yang menggunakan metode V60, Aeropress, Moka Pot, French Press dan Chemex. Menurut Dani, penggunaan Chemex di cafe-cafe Banyuwangi masih sangat minim. Ia menjelaskan keunggulan Chemex yakni pada material berupa gelas kaca dan memiliki filter paling tebal daripada yang lain.
"Kalau kopi yang dihasilkan pakai V60 itu sudah lembut, sedangkan pakai Chemex lebih smooth lagi. After taste-nya tipis, enggak lama langsung hilang," papar suami Enggar Puspita tersebut.