"Yang beli orang sini yang hajatan, orang Sumatera, Kalimantan, Sulawesi untuk oleh-oleh".
Merdeka.com, Banyuwangi - Belum banyak terekspose, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, memiliki kerupuk khas berbentuk mirip ulat tanah dalam posisi 'melungker'. Satu-satunya orang yang bisa membuatnya adalah seorang wanita bernama Adeni (48), warga Dusun Pasinan, Desa Singojuruh, Kecamatan Singojuruh.
Banyak tetangga yang sudah dia ajari untuk membuat kerupuk ini, namun belum ada yang bisa. Meski bahan mudah didapat, keterampilan pembuatan kerupuk yang sulit ditiru.
Kepada Merdeka Banyuwangi, Adeni berbagi resep pembuatan kerupuk yang dia warnai putih, kuning, merah dan hijau itu. Bahan untuk 1 kali adonan adalah campuran antara 1,5 kilogram tepung beras baru giling, 1,25 kilogram tepung terigu, garam, bawang putih dan penyedap rasa.
"Berasnya sebelumnya direndam semalam, baru digiling jadi tepung. Setelah adonan tercampur rata, dikukus, baru dibentuk. Prosesnya harus tepat, kalau enggak nanti pecah, bentuknya rusak," kata Adeni di rumahnya, Rabu (18/4).
Setelah itu adonan dibentuk bulat kira-kira seukuran ruas atas ibu jari, lalu dilonjongkan, dan siap menghadapi bagian tersulit membuat bentuk ulat tanah (Agrotis Ipsilon Hufn) atau hileud tegel (Sunda) dan ulat lutung (Jawa). Pencetakannya menggunakan alat yang sangat sederhana, belahan seruas bambu dan daun pisang sebagai alas bambu bagian dalam.
Adonan lonjong disandarkan ke dalam bambu dalam posisi tegak, ujung adonan didorong ke atas dengan ibu jari. Ibu jari geser sedikit ke bawah dan kembali memencet adonan ke atas, diulang sampai ujung bawah adonan. Dengan cara itu, permukaan adonan kerupuk jadi bergelombang, dan menggulung seperti ulat meringkuk.
Meski secara teori terdengar sederhana, namun prkatiknya sulit dilakukan hingga menghasilkan bentuk kerupuk yang bagus.
Setelah itu kerupuk kembali dikukus, dijemur 1 hari dan siap digoreng atau dijual. Pembeli disarankan kembali menjemur sebelum menggorengnya di rumah. Satu adonan dikerjakannya setengah hari, menghasilkan 250 kerupuk, dijual seharga Rp 25 ribu per 100 biji.
"Yang beli orang sini yang hajatan, orang Sumatera, Kalimantan, Sulawesi untuk oleh-oleh. Biasanya ada orang lewat lihat kerupuk yang saya jemur, lalu tertarik untuk beli," ungkapnya.
Kerupuk yang biasa ditemui di toples-toples hajatan warga Desa Singojuruh ini biasa disebut Kerupuk Luntung. Paduan rasa garam dan bawang mendominasi saat dimakan. Mengunyahnya juga pasti menimbulkan suara karena teksturnya yang renyah dan sedikit keras.
Adeni yang hidup bersama satu dari dua orang anaknya ingin agar semakin banyak tetangga yang bisa membuat dan menjadi penggerak ekonomi baru di Desa Singojuruh. Apa mau dikata, tetangga yang sudah dilatihnya belum bisa mencetak adonan lonjong menjadi bentuk unik itu. Perempuan-perempuan tetangganya yang memiliki waktu luang terbiasa mengerjakan kerajinan monte dengan upah kecil.
"Minat ada, banyak yang mau belajar, tetapi belum ada yang bisa. Daripada mereka jahit monte, sehari belum tentu dapat upah Rp 5 ribu. Kalau kerja di saya, saya mau bayar Rp 5 ribu setengah hari kerja," katanya.