"Saya mengabdi sudah 24 tahun memimpin gerakan masyarakat adat.Indonesia punya 1.128 identitas budaya suku bangsa, itu terbanyak di dunia".
Merdeka.com, Banyuwangi - Abdon Nababan (54), peraih penghargaan bergengsi tingkat Asia, Ramon Magsasay terlihat datang sendiri dari Jakarta, menuju salah satu pendidikan alternatif di sudut perbatasan hutan KPH Banyuwangi Utara, Lingkungan Papring, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi.
Tepatnya pada Agustus 2017, Abdon terpilih menjadi peraih Ramon Magsasay kategori kepemimpinan masyarakat. Sebelumnya, penghargaan Ramon Magsasay dengan kategori serupa pernah disematkan kepada Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada 1993 sewaktu menjabat ketua PBNU.
"Meski beliau hanya sebentar pernah memimpin negeri ini (Presiden RI tahun 1999-2001), namun banyak hal mendasar yang telah dirubah, terutama perjuangan Bhineka Tunggal Ika, ‘Agama-agama, kalau kebudayaan ya kebudayaan," kata Abdon mengisahkan wejangan tokoh idolanya Gusdur, saat ditemui di Kampoeng Baca Taman Rimba (Batara), Minggu (14/10).
Model kepemimpinan Gus Dur yang dinilai punya peran penting dalam mengubah kebebasan dan hak berkebudayaan dan beragama, menjadi fondasi Abdon saat aktif dalam organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) sejak 1999. Saat pertama kali terbentuk pada tahun 1999, Anggota Aman sudah mencapai 900-an orang. Jumlah tersebut semakin bertambah hingga 17 juta anggota, dengan 2400 komunitas adat yang tersebar di seluruh Nusantara. Jumlah tersebut, kata Abdon merupakan yang terbesar di dunia.
"Saya mengabdi sudah 24 tahun memimpin gerakan masyarakat adat.Indonesia punya 1.128 identitas budaya suku bangsa, itu terbanyak di dunia," terangnya.
Panitia Ramon Magsasay, secara diam-diam ternyata telah menilai konsistensi Aman dalam memperjuangkan suara masyarakat adat, terutama di saat periode kepemimpinannya di tahun 2016-2017.
"Kami menyebutnya dekolonialisasi gelombang kedua, gerakan pembebasan pertama saat merdeka negara pasca perang dunia kedua, dan saat ini merdeka dari hak-hak adat. Dulu kebudayaan gak masuk repelita, yang masuk hanya musik, tari, gak boleh dihubungkan dengan tanah, pengetahuan seperti bikin obat-obatan tradisional gak diakui. Jadi ada hak atas pengetahuan, wilayah tanah dan sumberdaya alam, hak politik dan pemerintahan, dan hak atas kebudayaan," paparnya.
Contohnya, kata Abdon, telah berhasil menggugat Undang-undang kehutanan tahun 2012. Dari total 57 juta hektare hutan adat, 24 ribu sudah resmi secara hukum sudah kembali ke masyarakat. "Dan negara gak bisa intervensi," kata alumnus Institut Pertanian Bogor angkatan tahun 1982 ini.
Setiap kunjungan ke daerah, Abdon selalu memberi keyakinan bahwa budaya harus jadi bagian fondasi bermasyarakat. Bila kebudayaan hancur, enggak bakal punya rasa percaya diri.
"Konteksnya seperti pendidikan di Kampung Batara ini, biar gak kehilangan jati diri, mental anak tambah berani, urusan cerdas banyak, tapi yang punya jati diri jarang, makanya banyak koruptor," jelasnya.
Pendidikan alternatif Kampung Batara yang didatangi Abdon, dia nilai telah konsisiten memberikan edukasi yang menyenangkan kepada Anak-anak di sekitarnya. Anak-anak diajari dengan metode yang menyenangkan seperti belajar membaca, mendongeng, bahasa, menyanyi, menulis, permainan tradisional, dan semua jenis edukasi yang menyenangkan sesuai keinginan Anak-anak. Kampung Batara sudah menjadi pendidikan gratis dengan sistem relawan yang rutin digelar tiap pekan sejak tahun 2015.
"Di sini Kampung Batara bisa menguatkan gerakan lingkungan dan budaya. Di sini masyarakatnya semua mendukung. Membangun generasi baru yag berbudaya, mentalitas merdeka, saya harap ini bisa menginspirasi. Bila ada 10 lagi pendidikan seperti ini, saya ingin datang kembali ke Banyuwangi," kata dia.
Kedatangan Abdon sekaligus ingin menyaksikan pementasan mulai teatrikal, musik, tari, hingga lomba mendongeng Anak-anak untuk memperingati ulang tahun Kampung Batara ke 3 tahun yang di gelar di perbatasan hutan. Dia tinggal dan menginap di rumah warga sekitar.
"Semua provinsi di Indonesia sudah saya kunjungi, kalau kabupaten 80 persen. Kalau ada geliat baru seperti ini saya datengin," kata pria asal Tano Batak,Sumatera Utara tersebut.
Sementara itu, Founder Kampung Batara, Widie Nurmahmudy menjelaskan, berdirinya pendidikan alternatifnya berawal dari kegelisahan minimnya semangat bersekolah di desanya dan tingginya angka pernikahan dini. Lewat pendidikan yang dia bangun, dia ingin membentuk mentalitas Anak-anak agar menjadi berprestasi dan semangat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
"Usia belasan banyak yang sudah menikah, dari sini harapan tumbuh agar Anak-anak bisa semangat sekolah. Menunjukkan bahwa meski tinggal di pinggir hutan tapi tidak kalah secara mental dengan anak-anak di kota," terang Widi.
Saat ini Anak-anak sekitar lingkungan Papring yang aktif belajar di Kampung Batara berjumlah 40-an, dari awal berdiri hanya 5 orang.
"Semua orang yang datang ke sini bisa jadi relawan, bisa mengajarkan apapun yang dia bisa. Jadi bukan datang hanya untuk menonton," katanya.