Rumah Makan Wina sudah melestarikan kuliner Banyuwangi sejak 1972.
Merdeka.com, Banyuwangi - Bermula dari inspirasi seorang pedagang makanan kampung bernama mak Isah, Djohanah Soekirno, pemilik Rumah Makan Wina memutuskan untuk menggeluti dunia kuliner khas Banyuwangi. Pada tahun 1953, Djohanah membuka sebuah kedai di pasar Blambangan dengan menjual masakan Banyuwangi seperti uyah asem dan sego janganan.
Namun usahanya sempat pailit ketika barang-barang di kedai miliknya mengalami pencurian pada tahun 1969. Kondisi tersebut membuat ia dan keluarganya mengalami masa sulit selama beberapa tahun.
Menjadi istri seorang mantri untuk anggota Kodim, pada tahun 1972 Djohanah mendapat tawaran dari Bupati Banyuwangi, Letkol Djoko Supaat Slamet untuk membuka sebuah kantin di pojok terminal Brawijaya. Meski kondisi terminal dalam masa pembangunan, Djohanah melulai membuka kantin bernama Wina.
Kantin Wina merupakan bangunan sederhana dengan lebar ruang 4×6 di Jalan Basuki Rahmat 62. Meski hanya memiliki empat meja dan 16 kursi, Djohanah menjual nasi soto dan rawon. Namun ia merasa kantin miliknya tidak memiliki ciri khas kuliner yang dapat menarik pelanggan.
Hingga suatu hari, ia diajak seorang kenalan asal Solo untuk berkunjung ke beberapa rumah makan terkenal. Di sana, ia berharap mendapat wawasan dalam khasanah kuliner. Saat itu Djohanah diajak masuk ke dalam keraton untuk menemui seorang kyai. Ketika berkeluh kesah mengenai kehidupan yang telah ia lalui, sang kyai meminta untuk dibawakan seekor ayam goreng empuk dengan bumbu khas Banyuwangi.
Sekembalinya dari Solo, Djohanah pun ingin memenuhi permintaan sang kyai. Ia pun mulai memasak ayam goreng dengan berbagai racikan bumbu toga untuk diberikan kepada kyai di Solo tersebut. Ia berencana menaiki bus umum untuk menuju Solo bersama salah seorang anak laki-lakinya bernama Heru Baskoro.
"Setelah masak, maksud ibu ayam gorengnya ditaruh di etalase biar dingin. Nanti dibungkus terus kami naik bis. Setelah di-display, ibu dandan untuk siap-siap berangkat. Sebelum berangkat, ternyata ayam gorengnya dibeli orang duluan. Sekaligus minta nasi sama sambel, timun dan kacang. Akhirnya nggak jadi berangkat karena ayam gorengnya laku jual. Akhirnya dari 1, 2, 5, 10, 15, 20 sampai ratusan ekor," kenang Heru sembari tertawa.
Menurut Heru, sejak saat itu sang ibu mulai menyadari makna tersirat dari permintaan kyai di Solo tersebut. Yakni pembuatan ayam goreng dengan bumbu toga sebagai ciri khas kuliner Banyuwangi.
Pada tahun 1977 omset kantin Wina pun semakin melambung. Hingga tahun 1980, Djohanah mengembangkan usaha dengan melayani masakan catering yang didominasi oleh permintaan Bupati Banyuwangi pada saat itu.
"Setelah saya menikah tahun 1986, ibu menyerahkan usaha ke saya. Saya ingin melestarikan bumbu-bumbu ndeso ini tadi agar ada sambung historis kuliner di Banyuwangi. Jadi ini lho, orang Banyuwangi itu kalau masak sedep, tidak memakai MSG. Bisa dapet rasa gurih itu dari apa kalau engga kolaborasi dari jahe, lempuyang, laos, daun salam, kunyit, bawang putih dan merah, itu kan bumbu toga," ujar Heru dengan optimis.
Selama 44 tahun rumah makan Wina berdiri, Heru dan keluarga tetap mempertahankan kekhasan masakan Banyuwangi dengan bumbu-bumbu alami. Hasilnya ayam goreng Blambangan khas Rumah Makan Wina di Jalan Basuki Rahmat 92 masih digemari hingga saat ini.