1. BANYUWANGI
  2. PROFIL

Kisah Embah Boni, pembuat permainan anak sejak zaman Jepang

Usia Embah Boni diperkirakan sudah 100 tahun lebih.

©2017 Merdeka.com Reporter : Mohammad Ulil Albab | Rabu, 19 April 2017 14:51

Merdeka.com, Banyuwangi - Embah Boni terlihat mengolah adonan tanah liat dengan kedua tangannya. Baru kemudian menaruh adonan di atas meja putar tradisional, hingga membentuk kerangka permainan Kempling. Sebuah permainan tradisional anak yang mengadaptasi alat musik rebana.
 
Saat ditemui Merdeka Banyuwangi di rumahnya, Desa Kepundungan, Kecamatan Srono, Kabupaten Banyuwangi, Embah Boni bercerita sudah membuat permainan anak Kempling sejak zaman Pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942-1945.

Saat itu, hampir semua orang di desanya membuat kerajinan dari tanah liat. Ada yang membuat perlengkapan dapur seperti mangkuk, piring, cobek dan permaian Kempling. Semua terbuat dari adonan tanah liat.

"Dulu semua orang di desa sini buat. Sekarang sudah enggak ada yang buat, tinggal saya saja. Orang-orangnya sudah banyak yang meninggal dan pindah ke Irian Jaya," ujarnya Embah Boni sambil membuat Kempling, Selasa (18/4).

Saat ditanya berapa usianya, Embah Boni hanya ingat dari cerita orang tuanya dulu. Bahwa dia lahir bersamaan dengan Ratu Juliana, anak satu-satunya dari Ratu Belanda, Wilhelmina Helena Pauline Marie. Setelah berulangkali mengalami keguguran.

Saat itu, Belanda masih menduduki Indonesia, dan sebelumnya ada pengumuman bahwa siapapun warga pribumi yang melahirkan bersamaan dengan Ratu Wilhelmina, maka akan mendapatkan hadiah berupa beras dan minyak goreng. Kemudian lahirlah Ratu Juliana, pada 30 April 1909.

"Katanya yang melahirkan bareng dapat hadiah. Waktu itu lahirnya Ratu Juliana pagi, kalau saya dilahirkan sore hari. Kalau lahirnya bersama di waktu pagi ya dapat hadiah beras sama minyak," ujar Embah Boni. Bila dihitung usia Mbah Boni sudah 108 tahun.

Sambil bercerita, Embah Boni dengan cepat sudah membuat tiga kerangka permainan Kempling. Mulai menimba air di sumur, membuat adonan tanah liat, membuat kerajinannya sampai menjemur dia lakukan sendiri. Dia hanya tinggal dengan satu orang anaknya.

"Kalau yang nyarikan tanah anak saya. Sekarang dia lagi nyari rumput," ujar Ibu enam anak ini.

Rumah Embah Boni dipenuhi dengan kerajinannya. Dalam sehari, dia bisa menjual 20-25 Kempling ke seorang pengepul. Satu Kempling laku dengan harga Rp 500-1000 rupiah per bijinya. Saat zaman Pendudukan Jepang dulu, harga Kempling masih Rp 2 rupiah.

Setelah kerangka Kempling kering, Embah Boni tinggal merekatkan kertas semen mengunakan lem dari adonan tepung kanji.  Bila alat musik rebana atau terbang terbuat dari kayu dan kulit hewan, sedangkan adaptasi permaian musik Kempling terbuat dari tanah liat dan kertas semen. Cara menabuh Kempling, Anak-anak biasanya menggunakan ranting yang diberi bundalan karet gelang pada ujungnya.

"Lem-nya pakai kanji beli Rp 10.000 bisa buat ngelem 100 Kempling," ujarnya.

Selain membuat Kempling, Embah Boni juga masih membuat permainan anak seperti kompor kecil, kendil, cobek, tempat bunga dan piring. Semua terbuat dari tanah liat.

Mbah Boni mulai membuat kerajinan tanah liat ini sekitar pukul 08.00 WIB. Dia hanya menggunakan jam dengan tanda kemiringan bayangan dari sinar matahari. "Pokoknya kalau sinar mataharinya sudah kena pintu rumah, saya istirahat," jelasnya.

Di sisi lain, dia juga membuat permainan anak-anak sebesar jempol tangan dari tanah liat untuk dibentuk menjadi burung, kambing, kucing dan beragam bentuk lain. Semua diberikan cuma-cuma kepada Anak-anak yang sering datang ke rumahnya.

Embah Boni, merupakan warga asli Kota Kediri yang pindah ke Banyuwangi sejak zaman ketahanan pangan era Pendudukan Jepang. Menurutnya Banyuwangi dikenal sebagai tanah lohjinawi, subur. Sehingga dia pindah ke Banyuwangi mengunakan transportasi cikar dan kereta uap dengan perjalanan 20 hari.

"Waktu itu gara-gara dua minggu enggak dapat beras di sana. Semua disita," tuturnya. Dia kemudian menikah dengan seorang pria asli Banyuwangi.

"Saya menikah saat poster Bung Hatta dipasang di Kecamatan Muncar," ujar nenek yang sudah memiliki 12 cucu ini.

Sebagai generasi terakhir pembuat Kempling, Pendengaran, Penglihatan dan kelincahan Embah Boni masih terbilang cukup kuat. "Bisane ya buat begini. Saya juga enggak pernah sekolah dulu," ujarnya.

(MH/MUA)
  1. Kisah Inspiratif
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA