1. BANYUWANGI
  2. PROFIL

Kulsum pembatik sejak zamanJepang asal Banyuwangi

Hingga saat ini ia masih produktif membatik dalam sehari bisa menghasilkan satu sampai dua kain batik.

Kulsum. ©2016 Merdeka.com Reporter : Mohammad Ulil Albab | Senin, 03 Oktober 2016 13:21

Merdeka.com, Banyuwangi - Daya ingat Kulsum memang sudah menurun. Dia tak ingat sejak usia berapa sudah mulai membatik. Tapi yang jelas, sejak kelas 3 SD(dulu masih sekolah rakyat), Kulsum sudah mulai belajar membatik. Saat itu Jepang sudah mendarat di Bumi Blambangan.

"Aku membatik sejak era Jepang, sekolah cuma sampai kelas 5. Kata Bapak, suruh berhenti dan belajar membatik saja. Kalau orang dulu itu yang penting bisa mengaji," ujar Kulsum kepada Merdeka Banyuwangi.

Saat ditemui siang itu Kulsum masih terlihat sibuk membatik di samping gang rumahnya. Peralatan membatik Kulsum, masih menggunakan cara-cara tradisional. Canting yang diisi malam, masih dipanasi menggunakan panas api tungku. Berbeda dengan pembatik saat ini yang sudah menggunakan pemanas canting dengan kompor sampai listrik.

"Kalau pakai kompor takut Nak. Pakai cara Mak saya dulu saja, pakai tungku dan kayu. Yang pakai kayu gini sekarang cuma Embah," jelasnya.

Penghilatannya yang sudah menurun, membuat Kulsum memilih membatik di samping gang rumahnya. "Kalau di dalam rumah, enggak kelihatan. Mripate (mata) sudah tua Nak," ujarnya.

Menariknya, sejak era pendudukan Jepang sampai sekarang, Kulsum masih produktif membatik. Dia tidak pernah beralih profesi. Dalam sehari, Kulsum bisa menghasilkan satu sampai dua kain batik berukuran 2 meter x 60 centimeter.

"Mulai kecil sampai sekarang gak pernah leren (berhenti) batik. Tiga hari dapat 2 batik, kalau motif sekar jagat, paras gempal. Kalau motif gajah uling sehari bisa jadi," kata Kulsum.

Kulsum
© 2016 merdeka.com/ Mohammad Ulil Albab

Dia melanjutkan, keluarga besarnya memang seorang pembatik. Tapi keturunannya, banyak yang tidak mau melanjutkan kreativitas membatiknya. "Sekeluarga pembatik semua, Ibuku, Mbahku semua pembatik. Pokoknya dulu setelah belajar ngaji malam, pulange belajar batik. Semua pembatik, tapi sekarang cucuku cuma satu yang mau," kata dia.

Saudara kandung Kulsumsudah meninggal semua, ia merupakan anak ke-11 dari 12 bersaudara. Diperkirakan usia Kulsum saat ini lebih dari 90 tahun. Kulsum memang hidup seorang diri di rumah peninggalan orangtuanya. Di gang samping rumahnya, tempat dia membatik banyak tumpukan kayu sebagai bahan bakar tungku membatik. Atap sengnya sudah terlihat hitam, tua dan berkerak terkena asap tungku.

Kulsum biasa mulai membatik pukul 07.00 WIB sampai 16.00 WIB. Meski cara membatiknya masih tradisional, banyak wisatawan yang tertarik memiliki karya batiknya. Tiap kain batik, dia jual seharga Rp 300 ribu. "Lak biyen juale angel Nak, soale banyak yang buat. Iki onok pesenan teko Jakarta, pesen 11, (dulu jualnya susah, soalnya banyak buat. Ini ada pesanan dari Jakarta, pesan 11" tuturnya.

Saat ditanya apa filosofi orang Banyuwangi menggunakan batik, Kulsum menyampaikan, seorang perempuan atau laki-laki yang mengenakan batik akan terlihat kalem (sopan). "Kata orang dulu pakai batik itu luwes, kalau laki-laki dipakai sarung sedangkan perempuan dibuat jarik," katanya.

(FF/MUA)
  1. Info Banyuwangi
  2. profil
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA