Banyuwangi Jazz Etnik, terbentuk dari para seniman Sanggar Omah Seni Kuwung asal Desa Rejoagung,
Merdeka.com, Banyuwangi - Alunan musik tradisional dengan lagu Using yang populer pada periode 1960-70an, kembali dimainkan kelompok musik Banyuwangi Jazz Etnik di tepi Pantai Pulau Santen, Kelurahan Karangrejo, Kabupaten Banyuwangi.
Lagu-lagu using kuno yang pernah popoler seperti "Impen-imperial", "Luk-luk lumbu", "Mak ucuk," dan "Tulih-tulio" malam itu dimainkan dengan aransemen fushion musik tradisional Using dan Jazz.
Mulai generasi muda sampai yang tua terlihat bernyanyi dan menari bersama di depan pentas. Ada ruang nostalgia yang coba dimunculkan kembali dengan nuansa modern. "Dulu kami sering tampil memainkan musik tradisi di acara jazz. Namun hanya sebagai selingan saja. Sekarang coba disatukan," jelas Dwi Agus Cahyono (26), salah satu personi Banyuwangi Jazz Etnik, beberapa waktu lalu.
Banyuwangi Jazz Etnik, terbentuk dari para seniman Sanggar Omah Seni Kuwung asal Desa Rejoagung, Kecamatan Srono. Dari 250 anggota ada 17 orang yang tergabung dalam Banyuwangi Jazz Etnik.
"Awalnya mempelajari dulu pukulannya seperti apa. Untuk disesuaikan dengan musik jazz. Kami juga mendengarkan lagu Jazz peride 60-an, bagaimana bisa dimainkan dengan gendang dan gamelan," jelas pria yang juga menjadi ketua Omah Seni Kuwung ini.
Malam itu, ada 8 lagu using lama yang coba dipopulerkan kembali. Agus dan teman-temannya berupaya melakukan improvisasi bagaimana memainkan alat musik tradisional seperti angklung dengan ritmik Jazz namun tidak mengubah dari nada pentatonik menjadi diatonis.
"Angklung kan mainnya pakem. Jadi bagaimana bisa eksplore lagi, ada improvisasi. Tapi yang jelas tidak mengubah pentatonik jadi diatonis," ujarnya.
Selain Banyuwangi Jazz Etnik, pagelaran yang dikerjakan dengan swadaya masyarakat Pulau Santen Ini juga dihadiri oleh Ali Gardy Rukmana, pemain Flute dan Saxophone asal Situbondo. Kemudian Musik Akustik The Mespoh dari Malang, dan Takeshi Lua pemain instrumen Saltery dari Jepang.
Usai berkolaborasi dengan Banyuwangi Jazz Etnik, Ali Gardy lebih senang menyebut sebagai musik fushion. Musik jazz yang biasanya digelar di tempat di sebuah gedung dengan tiket mahal, namun ini diselenggarakan di tepi pantai dan gratis.
"Karena yang dibawakan musik tradisi. Beda dengan komposisi, karena sebuah pengkaryaan. Tapi kalau spiritnya ini jazz dengan nuansa Banyuwangi. Dan dibangun dengan gratis, tidak eksekutif dengan tiket yang mahal," jelasnya.
Ali menyebut, upaya mempopulerkan kembali lagu-lagu tradisi ini merupakan spirit yang harus dijaga. Musik tradisi yang seringkali dianggap rendah dibandingkan musik populer, di Banyuwangi justru diselamatkan oleh generasi muda.
"Ini lagu-lagu Using kemudian dikemas ulang dengan musik-musik modern. Jadi mempopulerkan lagu-lagu yang dulu, diangkat kembali. Upaya konservasi musik, agar tidak jadi fosil bunyi," ujarnya.
Pagelaran Banyuwangi Jazz Etnik, dimainkan dengan beragam alat musik tradisional mulai dari gamelan, angklung, gendang, biola, kluncing, rebana, seruling, katir kentongan, bonang, saron, peking dan slentem. Kemudia untuk alat musik modern seperti flute, saxophone, bass, gitar akustik dan harmonika.
Di sisi lain, Bachtiar Djanan salah satu panitia penyelenggara acara dari Komunitas Hidora mejelaskan, event ini diselenggarakan dengan swadaya masyarakat. Mulai dari perlengkapan panggung sampai konsumsi diadakan dengan gotong royong.
"Ini kepanitian bersama, masyarakat terlibat penuh. Seperti masang lampu-lampu dari botol, seting panggung, konsumsi untuk pemain juga sumbangan warga," ujarnya.