1. BANYUWANGI
  2. INFO BANYUWANGI

Ini legenda Sri Tanjung sebagai asal usul nama Banyuwangi

Banyuwangi, merujuk literatur sejarah kota, diyakini lahir pada 18 Desember 1771.

Tari Legenda Sri Tanjung. ©2016 Merdeka.com Reporter : Mohammad Taufik | Jum'at, 11 Maret 2016 11:24

Merdeka.com, Banyuwangi - Sejarah Banyuwangi memang dikaitkan dengan berbagai epos perjuangan kawula alit (rakyat) dan para penggede (raja) yang menolak takluk pada siapapun. Mulai dari kisah Minak Jinggo, raja Blambangan yang menentang dominasi Majapahit di Trowulan, hingga epos perjuangan Pangeran Puger (putra Wong Agung Wilis) bersama rakyat dan prajuritnya menyerang benteng VOC di Banyualit pada 1768.

Banyuwangi, merujuk literatur sejarah kota, diyakini lahir pada 18 Desember 1771. Pada tahun itu ada peristiwa sejarah yang paling tua dan patut diangkat sebagai hari jadi Banyuwangi. Perang Bayu atau Perang Puputan Bayu (ada yang menyebut Pemberontakan Jagapati) adalah salah satu perlawanan para pejuang Blambangan melawan VOC yang dibantu oleh laskar-laskar pribumi dari Madura dan Jawa Timur lain.

Perang Bayu I dipimpin oleh Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati, buyut dari Pangeran Tawang Alun, putra Mas Bagus Dalem Wiraguna (Mas Bagus Puri) dengan ibu dari Desa Pakis, Banyuwangi (Pigeaud, 1932: 255). Dalam perang ini, Rempeg dengan hampir seluruh pengikutnya, seperti Patih Jagalara, Mas Ayu (Sayu) Wiwit, Bekel-bekel Utun, Udhuh, Runteb dan lain-lain gugur.

Perwira VOC yang terlibat di Blambangan dalam peperangan ini adalah Residen Blambangan Cornelis van Biesheuvel dan penggantinya Hendrik van Schopoff. Selain itu terdapat nama-nama lain seperti Sersan Mayor Van Schaar, Letnan Kornet Tine, Vandrig Ostrousley, Kapten Reygers.

Perang berlanjut pada Perang Bayu II. Pejuang Blambangan dipimpin oleh Bapa Endha melawan VOC. Perwira VOC yang terlibat dalam perang yakni Kapten Heinrich, Vaandrig Guttenberg, Vaandrig Lenigen, Peltu Mirop dan Peltu Djikman.

Lalu bagaimana dengan nama Banyuwangi sendiri? Rupanya asal usul nama kabupaten di ujung Pulau Jawa itu justru dikait-kaitkan dengan sebuah legenda, yakni Legenda Sri Tanjung yang menceritakan kesetiaan istri kepada suami. Legenda ini banyak dibawakan dalam kesenian dan budaya lokal, salah satunya tari-tarian.

Dikutip dari situs Pemkab Banyuwangi, konon, dahulu kala di wilayah ujung timur Pulau Jawa ini dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Sulahkromo. Dalam menjalankan pemerintahannya ia dibantu oleh patih bernama Sidopekso.

Patih Sidopekso memiliki istri sangat cantik bernama Sri Tanjung. Karena kecantikan, kehalusan budi dan tutur kata Sri Tanjung ini, membuat sang raja tergila- gila padanya. Agar tercapai hasrat sang raja untuk membujuk dan merayu Sri Tanjung maka muncullah akal licik. Raja memerintahkan Patih Sidopekso untuk menjalankan tugas yang tidak mungkin bisa dicapai oleh manusia biasa.

Maka dengan tegas dan gagah berani, tanpa curiga, Sidopekso berangkat menjalankan titah raja itu. Sepeninggal Sang Patih Sidopekso, Raja Sulahkromo memanfaatkannya untuk merayu dan memfitnah Sri Tanjung. Namun cinta Sang Raja tidak kesampaian dan Sri Tanjung tetap teguh pendiriannya, sebagai istri yang selalu berdoa untuk suami. Berang dan panas membara hati Sang Raja ketika cintanya ditolak oleh Sri Tanjung.

Ketika Patih Sidopekso selamat dan kembali dari misi tugasnya, ia langsung menghadap Sang Raja. Akal busuk Sang Raja muncul. Raja mengatakan, saat patih menjalankan tugas meninggalkan istana, Sri Tanjung mendatangi dan merayu serta bertindak serong dengan dirinya.

Tanpa berpikir panjang, Patih Sidopekso langsung menemui Sri Tanjung dengan penuh kemarahan dan tuduhan tidak beralasan. Pengakuan Sri Tanjung yang lugu dan jujur membuat hati Patih Sidopekso semakin panas menahan amarah. bahkan Sang Patih dengan berangnya mengancam akan membunuh istri setianya itu.

Lalu diseretlah Sri Tanjung ke tepi sungai yang keruh dan kumuh. Namun sebelum Patih Sidopekso membunuh Sri Tanjung, ada permintaan terakhir dari Sri Tanjung kepada suaminya itu. Sebagai bukti kejujuran, kesucian dan kesetiaan, Sri Tanjung rela dibunuh. Tapi dia minta jasadnya diceburkan ke dalam sungai keruh. Apabila darahnya membuat air sungai berbau busuk maka dia telah berbuat serong, tapi sebaliknya, jika air sungai justru berbau harum maka ia suci, tidak bersalah.

Patih Sidopekso tidak lagi mampu menahan diri. Dia segera menikamkan kerisnya ke dada Sri Tanjung. Darah memercik dari tubuh Sri Tanjung dan mati seketika. Mayat istri setia itu segera diceburkan ke sungai. Ajaibnya, sungai yang keruh itu berangsur-angsur menjadi jernih seperti kaca serta menyebarkan bau harum, bau wangi. Patih Sidopekso terhuyung-huyung, jatuh dan jadi linglung. Tanpa ia sadari, ia menjerit..,"Banyu..,wangi..,Banyu..,wangi..!"

(MT/MT)
  1. Seni dan Budaya
  2. Sejarah
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA